Friday, July 09, 2010

File-file Cerita di Kepala

Sedang ada cerita dikepalaku. Aku memang belum menuliskannya. Dikepalaku sedang bergejolak-gejolak seperti medidih. Kau bisa memulainya dengan mengeluarkan file-file cerita itu dikelapaku. Kadang aku merasa tak berfikir ketika mulai menulis atau bercerita padamu. Terjadi begitu saja. Kepalaku bentuknya biasa saja seperti kebanyakan orang, sebenarnya masih belum jelas juga bagaimana persisnya kepalaku ini, aku memang sengaja menyamarkannya dengan menuliskannya seperti itu. Aku merasa sedang menulis sesuatu yang samar.

Seperti biasa, dikepalaku ada rambut yang warnanya hitam, kau juga, sebagaimana warna rambut yang umum di seluruh pelosok negeri ini. Aku pernah mewarnaninya dengan warna merah atau kuning, dengan warna itu di rambutku, ketika aku bercermin, aku merasa seperti tak mengenal diri sendiri. Aku juga jadi ingin tahu, sejak kapan aku mengenal diri sendiri. Tapi tak apalah, kadang rambut perlu diacak-acak, gaya rambut yang berlainan dari biasanya, misalkan gondrong kemudian botak, atau botak kemudian gondrong. Rambut panjang dan nanggung, lalu gimbal.

Aku rasa, aku akan memulai cerita ini dari sebuah rambut. Rambut yang tumbuh kemudian dengan sabarnya memanjang. Tapi rambut siapa yang akan kutulis? Aku harus merapikan file dikepalaku, mencari lagi rambut siapa yang cocok untuk dijadikan tokoh dalam cerita ini. Meski aku ingat potongan rambutmu, dan gayamu ketika nampang dengan rambut model begitu. Aku tak akan membahas model rambutmu dicerita ini, aku hanya menyisipkan sekilas di cerita ini, seperti angin, atau juga kendaraan yang lewat begitu saja di depan jalan ini, sekilas.

Jadi, aku masih mencari siapa itu rambut. “Hei, kawan. Cerita tentang rambut apalagi caramu bercerita, ah sudahlah, enyah saja!” tiba-tiba sisi lain dari diri ini, berkata seperti itu. Aku merasa diperhatikan. Aku merasa rambut-rambut ini bertambah dan bertambah panjangnya. Oya, sebelum menutup cerita ini, aku tak akan membuat rambut ini sepanjang yang kau kira. Biasa saja, masih dengan rambut yang nanggung, maksudnya tak terlalu panjang juga tak terlalu pendek.

“Dulu tak ada tukang cukur!” kata diri ini yang lain.

“Zaman batu maksudnya?” kata diriku yang ini.

“Enyah saja” masih kata diri ini.

“Dulu, kalau kepalamu sakit, kau akan dilubangi kepalanya!”

Entah dari mana aku mendapatkan informasi tentang kepala yang dilubangi. Bukankah itu mengerikan, dan sudah pasti membuat mampus seseorang. Aku segera mencarinya filer-filenya dikepalaku. Aku sepertinya sering mencari file di kepalaku. Sepertinya di tulisan ini, aku banyak mempromosikan file-file di kepalaku. Padahal, aku ingin rambut ini terbuat dari apa saja. Aku bayangkan api misalnya.

“Kepala ini seperti cendra mata”

“Lalu kau ingin membakarnya?”

Tentunya aku bukan seorang pemburu kepala, lalu menggantungnya di atap-atap rumah. Tempurungnya masih saja bergelayutan di atap rumah. Aku membayangkan, bagaimana para pemburu kepala itu membawa kepala dan menyimpannya di atap rumah, seperti hadiah. Aku bayangkan rambut-rambutnya di kelupaskan dari kepalanya. Waduh, pemburu kepala ya.

Aku tak melanjutkan lagi pemburu kepala itu. File-file di kepalaku tak mendukung untuk menuliskan yang lainnya tentang pemburu kepala. Jadi, aku saat ini menatap sebuah iklan sampo untuk rambut. Aku baru ingat, sampo ya untuk rambut, sesuai dengan petunjuk penggunaan di belakang botolnya. Kadang anjuran itu tak terlalu di tepati, kalau tidak ada sabun, terpaksa digunakan sampo itu untuk menggosok tubuh sebagai pengganti sabun. Kadang juga aku memakainya untuk cebok, ini sangat terpaksa sekali.

Setiap melihat iklan sampo itu, yang hanya kepala dan rambutnya yang tampak, aku jadi terbayang pemburu kepala. Tapi aku berusaha untuk tak melanjutkan bayanganku tentang pemburu kepala. Ini masih tentang iklan sampo itu, aku menyukai seseorang yang nampang di iklan itu, sepertinya juga semua orang suka dengan seseorang yang nampang di iklan sampo itu. Aku ingin saja meluaskannya menjadi iklan sabun mandi, aku baru ingat, judul seperti itu sudah menjadi sebuah judul di beberapa vcd bajakan di emperan atau kaki lima lainnya.

Tak jadi makanya, iklan sabun mandi itu kuhapus saja dari file di kepalaku. Sebenarnya tak benar-benar kuhapus, masih ada tersimpan di keranjang file-file yang dihapus dari kepalaku ini. Aku jadi mengingat rambut yang rontok dan seperti jagung. Padahal baru saja aku membahas tentang file yang dihapus, lalu begitu saja rambut-rambut rontok, lalu juga jagung. Aku ingin membakar jagung dan namanya menjadi jagung bakar. Rambut itu pun kubakar, jagung itu juga kubakar. Aku seperti menyantap jagung dan rambut. Kalau jagung dan rambut dimakan secara bersamaan, maka aku akan menunjukkan kepada koki jagung bakar dan berkata”Aku tak memesan rambut!” kemudian aku akan mengatakan juga setelah tiga kali menghirup nafas ”Ini rambutnya aku kembalikan”.

Tentunya aku akan memakan jagung bakar tidak dengan rambut yang disipakan koki itu. Aku memang merasa tak benar-benar memakan jagung. Aku masih terbayang oleh rambut itu, jadi rambut yang ada di iklan sampo itu, seperti menemani ketika aku membuat cerita ini, padamu tentunya.

“Aku ingin rambut ini indah seperti matahari”

“Kau akan menyiramnya dan menggelungnya?”

Rambut seperti matahari ya, aku jadi ingat percakapan itu, lagi-lagi aku suka berkhayal kalau saja rambut itu berapi, dan lagi aku mengulang-ulang akan menyiram. Percakapan antar diri. Membuatku takut akan ada lubang di kepalaku. Tadi di paragraf-paragraf awal, dulu, katanya lubang di kepala itu untuk mengobati sakit kepala. Aku rasa, aku akan memilih minum obat-obatan saja daripada kepala ini berlubang. Sayang sekali, diantara diameter lubang itu, tentunya kalau membuat lingkaran dengan jari-jari yang tak terlalu panjang dan lubang yang tak terlalu dalam, dengan begitu, aku merasa tak ada rambut yang tumbuh disitu.

Makanya, saat ini rambutku merasa agak tumbuh sedikit, lagi. Jadi, ini membuatku penasaran, kandungan apa yang ada di dalam iklan sampo itu. Aku sengaja mencari kandungan dalam iklan sampo, aku memang sedang tak mencari kandungan sampo. Rambut, kepala, wajah, senyum. Tentunya aku pun senyum kalau ada yang memberi senyum. Senyum ini memberiku rehat ketika menulis cerita ini, kubayangkan rambutnya dan senyum. Aku pun merasakan rambutku dan senyum.

Senyum, bisa juga harganya mahal ya, untuk beberapa orang. Tapi aku melihat, seseorang yang senyum nampang di iklan sampo itu senyumnya mahal, entah berapa harga yang dibayar untuk senyumnya, juga aku merasakan rambutnya mahal, harga rambut yang berbanding begitu saja dengan keberuntungan dan keberuntungan lainnya. Entah senyumku ini seperti apa. Tapi kau tentunya senyum, membaca cerita yang kutulis ini.

Sebenarnya aku ingin menata ulang. Apa saja. Bisa jadi file-file di kepalaku ini. Tapi ada beberapa cd yang numpang nyelip di koleksi cd program ini. Aku sedang memilah-milah, cd mana yang akan kugunakan untuk menata ulang file-file di kepalaku ini.

Monday, September 15, 2008

Tentang Danau di Kampus


I
ni bukan tentang hantu tanpa kepala, yang sedang menunggu di pos satpam dan pernah menakutimu di malam itu. Ini juga bukan tentang hantu gajah, yang besar dan pernah menghadang jalan pulangmu, sehingga kau lari terbirit-birit mengitari kampus. Ini juga bukan tentang penggerebekan yang dilakukan oleh satpam terhadap pasangan yang dianggap mesum di kegelapan di dalam kampus.

Ini tentang sebuah danau di kampus. Ini tentang pagar-pagar yang ada di danau itu. Ini tentang rusa-rusa yang berkeliaran di dalamnya. Ini tentang ikan-ikan yang sudah lama tidak di pancing lagi di danau itu. Ini tentang pedagang-pedagang yang entah kemana setelah danau itu di pagari. Ini tentang danau di kampus.

Pagar-pagar itu tadinya tidak ada. Pagar yang mengelilingi danau kampus, besi yang mengitari, tinggi dan tajam. Rusa-rusa berlarian. Terkadang di sore hari ada saja yang mampir dan memperhatikan rusa itu. Bahkan malam hari beberapa mahasiswa sengaja datang untuk memperhatikan perilaku rusa itu di malam hari. Ah, danau itu begitu tenang, diterpa cahaya bulan.

Seandainya saja saat ini masih bisa danau itu didekati. Mungkin aku akan memancing ikan-ikan disana. Tapi apa ada ikan di danau buatan itu. Tapi ketika belum dipagari, beberapa orang terlihat memancing di sana. Bahkan ketika Dies Natalis ada perlombaan memancing.

Kebiasaan memancing pada waktu Dies Natalis itu memang sudah berlangsung lama. Sebelum aku menjadi mahasiswa. Mahasiswa dan dosen berlomba untuk memancing ikan sebanyak banyaknya. Tetapi yang menjadi pemenang adalah yang menangkap ikan besar. Aku tak tahu apakah sengaja ketika Dies Natalis ikan disebar lalu diadakan lomba memancing itu, atau memang ikan-ikan itu sudah dibiakkan sebelumnya di danau itu. Entah.

Permukaan danau yang tenang, tidak ada riaknya yang menyerupai ombak. Danau buatan untuk menyejukkan pandangan. Danau yang menyegarkan. Danau yang dilewati begitu saja. Danau yang entah ada atau tidak ikannya.

Seorang mahasiswi sedang duduk di dekat danau itu. Sedang mengerjakan tugas kuliah. Sesekali menatap ke arah danau itu. Santapan yang dipesan dari gerobak makanan itu datang. Dia sendiri saja. Sesekali lagi menatap danau itu, kemudian tersenyum. Menghabiskan makanannya. Tugas kuliahnya pun selesai dikerjakan. Tikar yang menjadinya alas, di bawah pohon, di dekat danau. Mengeja dan melahap makanannya satu persatu. Kemudian setelah kenyang, dia tinggalkan danau itu, dikenakannya sepatu yang tadi dibuka. Dia pergi, menjauhi danau itu, berjalan ke arah gedung perkuliahan. Hanya tinggal yang berjualan, dan danau itu, di siang hari.

Kami berjanji bertemu di danau itu. Kami berdiskusi disana. Tentang sebuah acara, kegiatan. Saling menyapa karena beberapa bulan ini tidak bertemu, atau berkenalan satu dengan yang lainnya. Berkenalan, menyapa teman baru. Berbagi pengalaman. Di sudut danau itu ramai oleh kami yang sedang berkumpul. Di sudut danau ini kami duduk-duduk dan menghabiskan hari. Dan kami pun berfoto-foto. Kilatan-kilatan di danau itu pun terfoto.

Beberapa mahasiswa yang percaya akan sebuah perubahan, waktu itu berkumpul di dekat danau itu. Mereka saling memberikan argumennya untuk sebuah perubahan. Mereka mengenal gerakan-gerakan yang sudah terjadi di beberapa teman mahasiswanya di daerah lain. Melalui bahan bacaaan dan internet. Mereka lalu membahasnya bersama-sama di danau itu. Kemudian dirancang gerakan-gerakan, untuk perubahan itu. Mereka pernah berkumpul di danau itu. Tak ada sisa-sisanya sekarang, baik itu selebaran yang tersebar, atau kata-kata yang pernah terlontar, danau itu sepi, danau itu dipagari. Hangat mentari membias di danau itu.

Rezim itu harusnya sudah tumbang.
Iya banyak kawan kita yang hilang.
Diculik dan ditangkap.
Kita harus tetap terjaga dan waspada.
Perubahan harus terjadi.
Iya, rezim diktator itu harus tumbang.
Bagaimana dengan aksi besok.
Beres. Semoga berjalan lancar.

Mereka yang pernah berkumpul pun entah dimana sekarang. Jejak-jejaknya tak berbekas sama sekali. Ah, mungkin aku yang tak mencari dan menelusuri jejak-jejak itu, di danau kampus.

Aku larut memandangi danau itu dengan tatapan jauh ke dasar danau. Memperhatikan rusa dengan lekat, berlari-lari riang. Memetik dahan yang landai. Mengunyahnya perlahan dengan tenang. Beranjak menjelang petang, ketika semua pun meninggalkan danau itu, rusa-rusa menyendiri dalam gelapnya di sudut tepi danau itu.


Lampu-lampu di sekitar danau itu terkadang diterangi. Terkadang digelapkan begitu saja. Malam tak ada lalu lalang, kecuali yang sengaja untuk mengamati rusa-rusa itu. Hanya ada yang memojok di sudut gelap, berduaan, berpegangan saling berbagi harap.

Danau ini gelap. Aku takut.
Tak usah risau, ada aku.
Aku juga takut denganmu di kegelapan ini.
Kau percaya padaku.
Mungkin.

Lalu satpam berkeliling dan memergoki. Pasangan itu dalam gelap. Dibawa oleh satpam, dan menghilang di pos penjagaan. Entah membicarakan apa mereka.

Hari-hari yang berat terus berlalu. Pertama kusaksikan adalah dimulainya pagar-pagar besi itu. Pekerja-pekerja mulai memasang pagar. Menancapinya di tanah-tanah mengelilingi danau itu. Beramai-ramai mereka memasangnya di tanah-tanah itu. Danau sepi dan menyendiri. Mereka terus semakin giat memagari danau itu. Sedikit demi sekit hingga danau itu tertutup oleh pagar, semuanya. Jeruji itu telah terbangun.

Bagaimana dengan pedagang-pedagang itu, menghilang entah kemana, tak ada kabar. Hanya tersisa kenangan tentang gerobak dan tikar yang terjulur di sudut danau.

Aku pernah bersantai di dekat danau itu. Memakan santapan dari pedagang yang ada. Duduk dengan beralas tikar. Tak terlalu memperhatikan danau itu. Karena masih menahan lapar sedari tadi pagi. Sarapanku siang, itu pun hanya untuk mengganjal, karena hanya menyantap jajanan seadanya. Cukuplah untuk mengelabui kekosongan perut ini. Tapi danau itu meminta diperhatikan, dan tiba-tiba pandanganku tertuju ke sana. Ke danau itu.

Pagar-pagar itu terlihat megah. Menantang dan berdiri kokoh. Ujung-ujungnya lancip dan menjilat ke arah langit, seperti tombak-tombak yang akan menghujamkan matanya ke dada lawan. Pagar-pagar itu dingin dan membisu. Rusa-rusa itu berlari di tepi danau itu. Kutatap dari kejauhan, dan kulalui begitu saja.

Setelah pagar-pagar itu berdiri. Beberapa bulan kemudian baru rusa itu didatangkan. Rusa-rusa itu didapat dari penyelundup dan pemburu liar yang sengaja menangkap rusa-rusa itu dan bermaksud menyelundupkan rusa itu entah kemana. Tapi mereka ditangkap dan rusa-rusa itu diserahkan ke kampus ini. Kampus ini menjadi rumah baru bagi rusa-rusa. Pagar yang mengitari, danau yang airnya tenang, rusa-rusa bermukim disitu.

Dan rusa-rusa itu berkeliaran di dekat danau. Mereguk air danau kampus. Berkeliaran kesana-kemari. Berjalan sedikit demi sedikit, atau merebahkan diri di rimbunan pohonan yang setengah meranggas dedaunannya.

Itulah pagar, danau, dan rusa itu.
Oh, begitu ya. Apa tidak ada penyelewengan dana dalam pemagaran itu.
Entahlah. Tapi katanya mengunakan dana kemahasiswaan.
Maksudnya.
Jadi, dana kemahahsiswaan yang tidak dipakai dialihkan untuk pembangunan itu.
Berarti kegiatan kemahasiswaannya tidak ada, dong.
Ada, ah.
Lalu bagaimana bisa.
Entahlah, mungkin dana kemahasiswaan itu terlalu besar. Siapa yang tahu. Apa kamu tahu berapa besar jumlahnya dana kemahasiswaan.
Iya juga. Aku tidak tahu.
Aku hanya bisa mengagumi danau yang dipagari itu. Memandang rusa-rusa.
Hmmm...
Kau ingin menjadi rusa.
Tidak, ah. Apalagi di dalam jeruji sekitar danau. Tidak bebas sepertinya.
Seperti di penjara, ya.
Seperti kehilangan kebebasan.
Tapi bagaimana dengan perburuan liar. Kalau dalam alam bebas pasti akan bersinggungan dengan itu.

Itulah namanya, melindungi diri. Yang lemah dimakan dengan yang kuat. Salah satu caranya adalah membuat perlindungan diri. Alam pun memberikan setiap mahluk untuk melindungi diri, begitu kan.

Ya. Bisa saja. Tapi manusia dapat memangsa rusa itu dengan mudah.

Terang bulan, rusa-rusa berkeliaran. Terkadang hanya berdiam diri dan berebahan. Di rimbunan semak dekat danau. Lalu berlalu lalang mengitari sisi-sisi danau, menyibak airnya dengan kaki-kakinya. Tanduk-tanduknya menyibak ke langit-langit.

Lihat rusa-rusa itu. Sepertinya mereka ingin memiliki teman lain.
Iya. Berdua saja di tepi danau sepertinya membosanan.
Tepat. Mungkin kau ingin menjadi rusa yang selanjutnya.
Ah. Kau ini.
Lihat mereka begitu kesepian.
Kata siapa. Mungkin mereka sedang bermesraan. Dan menikmati hidupnya.

Kupeluk dirimu di dekat danau itu. Cahaya bulan menyibak permukaan danau. Kukatakan padamu, begitu syahdunya malam ini. Kami pun mempererat pelukan. Dan kami harus mengamati lagi perilaku rusa. Yang terus saja tak kumengerti. Tapi kau semain larut dalam perngamatan itu. Mencatatnya di buku yang diterangi dengan senter, karena cahaya bulan tidak cukup untuk menerangi buku dan matamu yang membaca itu.

Ingin kuselami kedalaman danau itu. Menyibaknya perlahan. Denganmu. Daripada hanya mematung dalam dingin malam dan memperhatikan rusa-rusa itu. Denganmu mengobati kepenatan itu. Tapi aku ingin mencerap kedinginan danau di waktu dini hari, dan menarik lenganmu dengan sentuhan perlahan. Tangan kita perlahan menyibak air di danau itu. Tapi kau semakin lelap memperhatikan rusa-rusa.

Kau letih, kau lelap. Mengejar rusa yang menyibukkan segenap pikiranmu. Kau mengejanya di pangkuanku. Kutatap dirimu, kuatatap kedalamannya, seperti danau itu, yang masih membiaskan cahaya bulan di malam hari. Kulekatkan pandangan ini untuk menjagamu, dari apapun. Aku penat, aku lelah. Kau juga.

Dan aku mulai merasakan keanehan dalam diriku. Tangan-tanganku, kaki-kakiku, semuanya. Hei, apa yang terjadi. Apa yang telah terjadi pada diriku.

Lalu rusa itu bertambah satu, di danau kampus yang sudah dipagari itu. Rusa itu menatap rembulan dengan matanya yang berkaca-kaca. Dan mahasiswa yang menceritakan danau itu menghilang entah kemana. Berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan sudah tahunan. Tapi, rusa di danau kampus itu bertambah satu.

-------------------------------------

Tandabaca.Com / titikoma.com

Jumat, 02 Pebruari 2007

Thursday, February 22, 2007

Di Ruangan Maya

Telah lama kukenal dengan ruangan maya atau istilah asingnya cyberspace, bukan cybersex. Chat, email, situs dan sebagainya. Juga kutahu bahwa situs porno selalu keluar dan mengundang untuk diakses, begitu diklik, maka akan berhamburan keluar dan mengundangku untuk mengaksesnya. Coba saja. Dan akau akan disibukkan dengan link dari situs tersebut yang berhamburan ke situs porno lainnya, kuharap kau tidak kewalahan, atau bahkan kesal dan menutupnya.

Biasa saja, buka dan lihat dengan seksama. Produk lokal pun banyak dan berhamburan disana. Selalu ada versi di internetnya. Mudah diakses, tinggal mencari di warung internet terdekat atau kalau punya jaringan internet sendiri di rumah lebih mudah. Ya dapat diketahui juga bahwa ada yang hanya direkayasa saja gambar-gambarnya, juga ada yang asli, entah siapa yang bisa menyebarnya.

Tapi RUU tentang pornografi tidak terdengar lagi gaungnya. Padahal wacananya menyesak di media. Di jalanan. Terjadi pertentangan wacana pornografi tersebut. Antara pendakwah dengan pedangdut. Antara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan wacana pornografi tersebut semakin meruncing. Namun setelah itu tertimpa lagi oleh wacana lainnya yang lebih menarik. Tenggelam, ditinggalkan, dan berlalu sehingga terlupakan. Atau memang sengaja dilupakan, seperti dengan mudahnya melupakan masa lalu bangsa yang kelam misalnya. Sejarah bangsa yang mengalami keretakan dan rekayasa. Ah, tapi kembali lagi ke dunia maya.

Bagiku email lebih penting dari situs porno itu, aku telah beberapa kali membuat email, awalnya tidak tahu bagaimana cara membuatnya. Tapi beruntung. Akhirnya bisa kupelajari, hingga dapat berkenalan pula dengan seseorang, beberapa orang, dan banyak orang. Bahkan Tego yang playboy (bukan majalah) menggunakan fasilitas ini untuk menggaet teman kencannya. Dia pernah melakukan one nigth stand (cinta semalam) yang tak pernah terlupakan.

Aku sadar, bahwa hanya pengguna saja, bukan programmer yang bisa mengerti seluk beluknya dunia maya, juga bukan hacker yang bisa mengobrak-abrik dunia maya. Pernah pula Roy menggunakan gambar porno untuk menghack situs ampus, rupanya para pengaman tahu. Lalu dicari Roy hingga kekostannya, dia dijadikan staf untuk keamanan situs, sungguh upaya yang tidak sia-sia. Entah apakah itu yang disebut sebuah politik identitas. Menunjukkan kekuasaannya.

Roy juga pernah menghack sebuah perguruan di luar negeri. Memesan sebuah jaguar dan tidak membawanya, jadi hanya memesan saja. Mengganti situs sebuah lembaga menjadi situs porno. Mengubah, dan banyak lainnya, bahkan mungkin ada yang lebih dahsyat dan belum pernah diceritakan padaku. Aktifitasnya terhenti oleh seorang master hacker yang bisa mengendalikan komputernya dari jarak jauh.

Aku suka juga dengan chat. Bisa bertukar pikiran tentang apa saja. Tapi aku tak pernah melakukan chat, tiba-tiba ia ada di sampungku, entah bagaimana rasanya seperti itu. Terkadang bisa menjadi laki-laki atau perempuan, disinilah batasan seksual menjadi kabur. Terkadang dengan menggunakan nama cewe_ ... maka berdatanganlah berbagai kata dan merasuk ke dalam ruangan chatku. Meski demikian, tak pernah terbersit melakukan kopi darat.

Tiba-tiba ada yang masuk di ruang chat,

ce_lembut_lho : asl pls

co_novelis : 24 m lmp u?

ce_lembut_lho : 19 f, lmp?

co_novelis : Lampung

ce_lembut_lho : bye

no such/nick channel

Ada yang masuk lagi di ruangan chat,

ce_tembuspandang : salam revolusi

co_novelis : revolusi mbahmu

ce_tembuspandang : asu

co_novelis : muah

ce_tembuspandang : kontra revolusi kau

co_novelis : biarin

ce_tembuspandang : antek-antek imperialis

co_novelis : so what gitu lho

co_novelis : revolusi itu temanku

co_novelis : Asep Revolusi

Ada yang masuk lagi di ruangan chat,

co_hacker : Mau jadi hacker?

co_novelis : Tidak

co_hacker : Mau sih

co_novelis : Ya udah gimana?

co_hacker : Kukirimi lewat email aja

co_novelis : loser_radical@..........

co_hacker : Ntar baca di emailmu

Ada yang masuk lagi di ruangan chat,

ce_kesepian : Aku kesepian

co_novelis : Aku juga

Ada yang masuk lagi di ruangan chat,

ce_sabun : Ayo sabuni

co_novelis : Menyabuni apa

ce_sabun : Apa saja yang bisa kusabuni

co_novelis : Bagaimana kalau

ce_sabun : Boleh

co_novelis : Yang mana

ce_sabun : Yang mana-mana

co_novelis : Dari bawah ke atas

ce_sabun : Terserah

co_novelis : Dari tengah ke samping

ce_sabun : Terserah

co_novelis : Ah, cape deh

Ada yang masuk lagi di ruangan chat,

ce_minum : Ayo kita minum-minum

co_novelis : Mabuk

ce_minum : Apalagilah

co_novelis : Wine

ce_minum : Boleh

co_novelis : Bagaimana sambil berpuisi

ce_minum : Malas ah

ce_minum : Hanya ingin merayakan sesuatu

ce_minum : Aku punya red wine

co_novelis : Aku punya minuman dingin bersoda

ce_minum : Tak apalah

ce_minum : Bersulang

co_novelis : Bersulang untuk apa

ce_minum : Kesedihan

co_novelis : Mengapa kau rayakan

Ada yang masuk lagi di ruangan chat,

ce_filsuf : Kau ada

co_novelis : Ada

ce_filsuf : Dimana

co_novelis : Disini

ce_filsuf : Dimana-mana

co_novelis : Siapa kau

ce_filsuf : Kamu

co_novelis : Aku

Ada yang masuk lagi di ruangan chat,

ce_genit : Setubuhi aku

co_novelis : Gila

ce_genit : Ayo

co_novelis : Bagaimana caranya

ce_genit : Terserah

ce_genit : Ayo, aku lagi melucuti pakaian

co_novelis : Satu persatu

ce_genit : Ini kubuka bajuku

co_novelis : Sudah cukup

ce_genit : Lihat ini, ayo

Ada yang masuk lagi di ruangan chat,

co_samaran : Rokku pendek lho

co_novelis : Apa

co_samaran : Boleh kau intip

co_novelis : Kau cowok bukan

co_samaran : Aku menyamar

co_novelis : Emangnye intel bisa samar-samaran

co_novelis : Takut aku

co_samaran : Nggak usah takut, santai aja

co_novelis : Tolong, aku diteror

co_samaran : Ssst, siapa teror kamu say

co_novelis : Apa, say?

co_samaran : Iya

co_novelis : Sejak kapan jadi sayanganmu

co_samaran : Barusan

co_novelis : Waduh kau ini

co_samaran : Aku makin sayang

co_samaran : Aku mau telanjang

co_novelis : Aku mau muntah

Ada yang masuk lagi di ruangan chat,

ce_baik : Kau suka pantai

co_novelis : Suka

ce_baik : Sedih kuingat

co_novelis : Pantai itu

ce_baik : Iya

co_novelis : Kenapa

ce_baik : Gelombang di laut itu

co_novelis : Kenapa dengan gelombang

ce_baik : Telah menghempaskan

ce_baik : Aku juga tidak suka dengan lumpur

co_novelis : Kenapa

ce_baik : Lumpur itu telah menenggelamkan

co_novelis : Apa yang telah tenggelam

ce_baik : Kebahagiaan

ce_baik : Rumah-rumah, perkampungan, tempat hidup

ce_baik : Kau harus merasakannya

ce_baik : Aku hanya bisa menangis

ce_baik : Lalu menggalang dana amal

co_novelis : Bagus kalau begitu

co_novelis : Aku tidak melakukan apa-apa

ce_baik : Kau harus melakukan sesuatu

co_novelis : Apa misalnya

ce_baik : Kau suka menulis

co_novelis : Sepertinya

ce_baik : Maka kau tuliskan

co_novelis : Iya juga

ce_baik : Ayo jangan tunggu

ce_baik : Tuliskan saja

ce_baik : Dan sebarkan ke mana saja

co_novelis : Ide bagus

co_novelis : Terima kasih

ce_baik : Sama-sama

ce_baik : Kau juga mau mendengar curhatanku

Waduh, apa aku internet addicted atau kecanduan internet. Tak nginternet, tak di ruang maya, badan menggigil, gelisah, was-was, jantung berdebar-debar, gelisah lagi, tak terkendali, perilaku buas. Mencari-cari warung buat nginternet, sakau. Kejang-kejang. Mengigau tentang email, situs yang belum dibuka, belum ngisi blog, belum ngirim pacar puisi lewat email, belum chatting, belum milis. Menggigil.

Wednesday, October 04, 2006

Menghilang di Gerbang Cahaya

Dia menyertakan dirinya sebagai tanda pengabdian dan penyerahan
secara sadar. Dia, adalah seorang yang selalu diharapkan orang
orang, telah larut dalam gegap gempita isi dunia yang tidak
bersahabat. Menyudahi kesehariaan yang memanjang, dan, lambat
terdengar sederet bunyi kepasrahan. Pasrah akan penyerahan diri,
pada saat yang telah ditentukan.

Saat itu, ketika malam tak pernah berujung, kunjung tiba di ufuk
penglihatan. Terlihat penampakan seorang yang datang dari kegelapan
tak bercahaya, mendekat dengan langkah yang tak teratur, lambat
laun, agak cepat, berjalan serong kiri serong kanan seperti seorang
yang telah kehilangan keseimbangan. Namun, tidak, bukan itu. Raganya
berjalan, namun jiwanya melayang layang mengikuti arah kegelapan
malam.

Menuju ke arah tak pasti, dimana setiap cahaya yang dicari tak
pernah kunjung, karena memang, malam tak pernah berakhir. Selalu
saja kegelapan itu meraba. Pada siapa saja, bahkan yang telah
mengenalnya lama, tetap saja tak ada pengingkaran, selalu saja.
Malam tak pernah berakhir.

Dan ketika menuju lorong lorong yang semakin pekat, tak ada yang
mengikuti karena malam telah membutakan pandangan.

Hendak kemana kau wahai perindu yang selalu berjalan?

Aku hendak mencari setitik cahaya untuk melepaskan dahaga
pengetahuan yang tak tersudahi akibat ketidak tahuan akan acahaya
itu.

Bukankah selalu saja tak seorang yang menginginkan cahaya, karena
berbahaya bagi siapapun. Tak ada yang beranjak dari kursi cahaya
itu, selain mereka yang muncul dan akhirnya menghilang di cahaya
yang terang, dan tak seorangpun menjumpainya lagi. Sadarlah, lebih
baik kau urungkan niatmu, tak ada apa apa dalam pencarian cahaya,
karena hanya akan menemui hal yang tak berkesudahan, nikmatilah
malam ini, nikmatilah kegelapan ini, untukmu, untuk kita semua.

Tidak, aku akan menuju cahaya itu, dan menyeretnya kemari agar semua
menikmati cahaya itui, aku, kau, juga semuanya. Akan menikmati
cahaya yang kubawakan. Pasti.

Jangan, akan terjadi sebuah perubahan sosial, dimana tak pernah ada
yang menikmati cahaya, dan ketika kau bawakan cahaya itu, tapi
sepertinya tidak mungkin, namun meski kau bawa cahaya itu kemari dan
menerangi semuanya. Akan terjadi sesuatu, entahlah, namun yang pasti
akan terjadi sesuatu, camkanlah itu.

Dan ketika malam jaddah itu ingin diakhirinya dengan memaksa masuk
kearah cahaya yang lambat laun semakin dekat, disongsongnya dengan
berlari. Tak memperdulikan lagi, dimana terus disongsongnya setitik
cahaya itu yang semakin didekati semakin besar. Ada bebarapa kendala
ketika berjalan menuju cahaya itu, beberapa kali tersandung, namun
tak diperdulikannya semua itu, demi menuju sebuah cahaya.

Dan dia menghilang di gerbang cahaya yang orang orang disini tak
pernah berani untuk pergi kesana.



____________________
bumimanusia@yahoogroups.com
Fri, 17 Mar 2006
Menyisir Rambut

Kamu itu laki-laki yang malas menyisir rambut sendiri, tampak semerawut, tapi masih berbentuk dan sedikit rapi. Tak akan kubiarkan rambutmu seperti itu, kuraih sisir yang jarak antara duri-durinya renggang, agar tidak terlalu menyakiti rambutmu. Kusisir perlahan-lahan. Sambil kubelai rambutmu. Aku pun berambut panjang, lurus, tapi aku rajin menyisiri dan merawat rambut sendiri, ah kamu, malas sekali sih.

Ibukulah yang pertama kali mengajari merawat rambut, cara menyisir yang benar, berapa kali harus disisir agar rambut ini menjadi halus. Bagaimana mengeringkan rambut yang telah di shampo. Ah, ibumu mungkin tak mengajarkannya padamu. Mungkin, kamu tidak terlalu dekat dengan ibumu. Bisa jadi benar kata seorang ahli, bahwa anak perempuan dekat dengan bapaknya, dan anak laki-laki dekat dengan ibunya, hmm, mungkin juga.

Tapi itu berlaku dengan keluarga yang ada anak perempuan dan laki-laki, ada bapak dan ibu. Bagaimana kalau bapak dengan anak lakinya tanpa ibu atau ibu dengan anak perempuannya tanpa bapak. Ah, kupikir juga beberapa ahli itu belum menjawab tuntas segala permasalahan.

***

Semenjak kecil, aku lebih banyak bersama ibuku, bapak entah kemana. Mungkin pergi bersama perempuan lain, meninggalkan kita berdua, atau entahlah, aku tak dapat memikirkanya, yang aku tahu ibu hanya memberitahu, bahwa bapak telah pergi, itu saja. Mungkin juga kedekatan dengan ibuku sangat berpengaruh. Entah sejak kapan, aku mulai senang berada di dapur bersama ibu, menemani ibu menyisir rambutnya, sering juga ibu menyuruhku untuk menyisiri rambutnya, yang panjang hitam dan terawat, sangat wangi.

Aku mulai menyukai wangi-wangian yang dikenakan ibu, melihat ibu memakai baju-bajunya, aku ingin mengenakannya. Ah, mungkin sudah besar nanti pikirku kala itu, karena pasti kucoba, dan hanya kedodoran yang ada.

Saat itu aku masuk ke kamar ibu, kudekati lemari tempat pakaian, di sana baju-baju ibu tertata rapi. Aku melihatnya satu persatu, tiba-tiba aku tertarik dengan daster ibu yang berwarna merah, aku tarik dari lipatan-lipatan baju ibu yang menumpuk. Kubentangkan, kutatap, besar sekali. Badanku tertutup semua, kucoba memakainya.

Daster ini tampak besar sekali kukenakan, aku melihatnya di kaca, bercermin di depannya. Kutatapi tubuhku, lalu kuputar-putar. Kemudian ibu datang ke kamar dan memberikan senyuman, mungkin menertawakan aku yang mencoba mengenakan bajunya. Ibu hanya tersenyum, kemudian menggendongku, memelukku. Aku didudukkan di tempat tidur. Ibu meraih kosmetik yang biasa dikenakannya, kuasnya di lesakkan ke dalam isi kosmetik dan ibu mulai merias wajahku, aku hanya diam. Ibu mulai memberiku pemerah bibir, ketika ibu memperlihatkannya di kaca, aku tersenyum, duh gembira sekali aku waktu itu. Ibu mengatakanku cantik.
***

Selepas sekolah aku melanjutkan kuliah ke Fakultas Filsafat di sebuah perguruan tinggi negeri. Aku selalu terkenang, ibuku mengantar menuju kota itu. Dia selalu gelisah dan selalu menanyakan, Apakah ada yang tertinggal? Bagaimana kebutuhan-kebutuhanmu? Aku pun menjawabnya bahwa ibuku ini telah menyiapkan jauh-jauh hari sebelumnya, dan tak ada yang terlupakan, ibuku memang hebat. Tapi ini pertama kalinya aku jauh dengan ibuku, ada rasa khawatir.

Aku merasa beruntung sekali bisa lolos ujian masuk perguruan tinggi, aku merasa lega. Bagaimana tidak, saingannya banyak sekali, seluruh Indonesia. Kupikir ini adalah sebuah keberuntungan, pilihan pertamaku di Fakultas Psikologi, alasannya karena ingin mengenal diriku lebih jauh, lebih dalam lagi, bisa memetakan, menggambarkan, memberikan penyelesaian terhadap kondisi kejiwaan seseorang, ah, sepertinya berat. Pilihan kedua di Fakultas Filsafat, entah kenapa aku memilih ini, mungkin untuk menjadi seorang yang bijak, entahlah, aku juga tidak yakin apa yang membuatku tertarik pada Fakultas ini. Pilihan kedua inilah yang tembus, ya, aku akan kuliah di Fakultas Filsafat.

Aku menggunakan kereta api dari tempatku ke kota itu, jarak tempuhnya sekitar setangah hari, cukup jauh dan melelahkan. Aku memandangi arah kereta ini, sepertinya laju kereta ini berjalan mundur, ah, ini mungkin hanya perasaanku saja. Ibu hanya tidur saja dari tadi, kami duduk bersebelahan. Aku tidak pernah bepergian jauh, baru kali ini, apalagi naik kereta. Pemandangan-pemandangannya menarik, rel ini membelah gunung, pesawahan, rumah-rumah dan sedikit hutan-hutan. Itu stasiun, kubangunkan ibu untuk segera bersiap-siap, ibu terbangun dan melihat sekeliling kemudian mengatakan bahwa perjalanan masih jauh, lalu tidur lagi.

Lima menit sebelum sampai di stasiun, ibu bangun, menggeliat. Ditatapnya pemandangan-pemandangan dari kaca jendela kereta, ibu menyebutkan kereta sebentar lagi akan sampai di stasiun tujuan kita. Benar, beberapa saat kemudian kami tiba. Ibu sepertinya sangat mengenal kota ini. Dia berjalan keluar dari stasiun dan segera tahu akan pergi kemana, aku bertanya, ibu hanya menyuruhku untuk mengikutinya.

Ternyata ibu mempunyai rumah di kota ini, tempatnya pun tidak terlalu jauh dari kampus, hanya satu kali naik bis kota. Rumah ini hasil kerja keras bapak sewaktu masih bersama ibu, rumah ini menjadi tempat berlibur, begitulah ibu meriwayatkan rumah ini. Ah bapak, mahluk seperti apa dia! Pergi begitu saja meninggalkan kita. Ibu hanya tersenyum.

Ibu hanya sebentar disini, karena besok harus bekerja. Sebelum kembali, ibu memberikan nasihat-nasihat, catatan-catatan yang harus dilakukan, dan jangan lupa bahwa disuruhnya sering menelpon ke rumah. Besok, aku akan memasuki dunia perkuliahan, entah bagaimana rasanya. Senang bercampur gelisah, besok apa yang akan terjadi?

***

Aku pergi ke kampus, naik bis kota. Berjalan menuju Fakultas, disana dijajarkan mahasiswa-mahasiswa baru. Tahu apa yang kukenakan? Baju hitam putih dengan kaus kaki yang berbeda warnanya, aduh sungguh menggelikan, mau kuliah kok disuruh beginian.

Ya, aku selalu ingat, agak sedikit terkesan ketika pertama kali masuk kuliah. Aku saat ini genap kuliah empat tahun. Tak terasa waktu cepat sekali berlalu. Beragam aktifitas kegiatan di kampus, kucoba ikuti. Baik itu di dalam kampus maupun di luar kampus. Bersama teman-teman yang peduli dengan permasalahan transeksual mengadakan diskusi dan kegiatan-kegiatan lainnya, rumahku pun menjadi pusat kegiatan.

Semakin banyak saja orang-orang yang datang dan kegiatan semakin padat. Sebetulnya aku membangun kegiatan ini dengan seorang teman, awalnya hanya kami berdua. Seringnya bersama dalam kegiatan-kegiatan timbul rasa saling mengagumi. Cinta itu datang, ah entah apa namanya, aku selalu ragu, apakah betul seperti ini, aku ragu dengan hubungan seperti ini. Tapi hari demi hari terus berjalan, seiring berlalunya waktu, aku semakin yakin dengan hubungan ini.

Ketika kita berdua, aku senang menyisiri rambutmu dengan tanganku, begitu lembutnya rambutmu, kita pun tersenyum dan aku menggelayut manja di pangkuanmu. Bergantian, kau membelai rambutku. Kita pun saling berbagi pengalaman, apa yang dirasakan, yang disukai dan tidak disukai, sehingga saling memahami satu sama lain.

Kala sendiri aku selalu ingat keadaanku, keadaanku akan seperti ini saja, aku tidak akan mengoperasi setiap tubuhku menjadi yang bukan semestinya. Kupikir inilah keadilan bagi tubuhku, dan tubuhku adalah milikku. Biarlah jiwaku seperti ini adanya, dan kau bisakah menerimaku apa adanya? Oh iya, kita jangan bicara tentang agama, karena aku akan selalu salah, salah dan salah. Hubungan kita pun tidak akan dibenarkan.

***

Suatu ketika aku melihatmu bersama seorang perempuan, cantik sekali. Di suatu sore di sebuah café. Kau begitu akrabnya, berbincang-bincang, di sela-sela itu kalian tertawa sesekali pertanda sangat menikmati pembicaraan. Kau menyuapi makananmu ke perempuan itu, dan dia tersipu malu. Setelah itu dia mendekap kearah tubuhmu dengan manja, kau pun membelai rambutnya, menyisiri rambutnya dengan tanganmu.

Aku menatap peristiwa itu dengan hati yang berdebar, berdegup kencang, kuharap itu bukan kau, kuharap ini bukan kejadian yang sebenarnya. Ah tapi ini memang benar-benar terjadi. Hatiku seperti disambar petir hari ini, sakit, sakit sekali. Aku kemudian pergi meninggalkan tempat itu, tanpa diketahui olehmu. Aku kembali ke rumah, merenungi, mereka kembali peristiwa tadi.

Dan di malam itu, setelah beberapa saat aku menyelesaikan mandi. Kau datang, aku melihatmu, menatapmu, segera saja pertanyaan itu datang, meminta penjelasanmu, penjelasan yang sejelas-jelasnya, tentang hubungan, tentang komitmen. Tapi kau mulai mengataiku, mengumpatiku, terlebih kata-kata itu, bahwa kau ini bukan lelaki bukan pula perempuan. Aku menangis, tersedu, hatiku memendam nyeri yang kau torehkan, kau pun pergi membanting pintu dan pintu itu terbuka dengan lebar, di luar gelap. Tapi tak apa, kau mungkin mulai menganggapku tak ada. Tapi aku tetap menyayangimu, dalam getir ini.


Bandar Lampung, 2006
Bocah Tengil

Suatu ketika, bulan enggan berkencan karena langit sudah runtuh menjatuhi setiap kegelisahan orang orang. Dan bocah tengil yang selalu membuat onar pun berhenti membuat onar, karena telah disuruh menetek lagi seperti bayi oleh janda genit yang selalu menonton sepak terjang dan aksi tengilnya. Bahkan sering menggoda setiap perawan kampung yang lewat didepan pos ronda yang kegunaannya pada tiap malam menjadi tempat main gaple berduit.

Perawan kampung yang lewat digodanya, bahkan kalau sempat tangan jailnya berusaha meraba raba setiap di kesempatan, tapi dengan kesigapan perawan perawan itu, selalu saja niatnya gagal dan akhirnya bocah tengil itu gigit jari, dan merencanakan aksi tengil lainnya.

Pada saat yang tepat atau bahkan mungkin tidak terlalu tepat, datanglah janda muda yang genit, maklum baru saja beberapa purnama ditinggal suaminya pergi TKW ke luar negeri, karena mendengar setibanya di luar negeri itu suaminya langsung berselingkuh. Maka si istri yang sebelumnya tidak menjanda jadi merah padam tubuhnya seperti disiram air panas campur air dingin segantang banyaknya.

Wanita itu berusaha melupakan suanminya yang baru beberapa bulan dikawininya, bahkan pertemuannya dengan bakal suaminya itu, hanya karena ketemu di pasar malam, kemudian mereka saling pandang. Dan laki laki itu dengan jantannya mendekati perawanan yang pada saat ini sudah menjadi janda, dengan senjata rayuan puitis yang sudah berkarat karena sudah banyak digunakan untuk merayu perempuan dan hanya itu itu saja, tidak ada pergantian kreativitas yang selalu dikepalanya. Dan wanita itu hanya mesem mesem saja kemudian berjalan dengan manjanya, jalan kucing.

Kaki kaki belalangnya melangkah kian tak menentu setiap mendengar puisi basi itu, bahkan nada nada sebenarnya seperti sebuah birahi yang tersembunyi dan terpendam, sebetulnya itu, hanya karena pembawaan yang meyakinkan dan terlalu percaya diri maka wanita itu lama lama akhirnya menyukai orangnya, bukan karena faktor puisinya, tapi karena orangnya yang merasakan percaya diri abis.

Hingga akhirnya beberapa hari setelah kenalan itu mereka pun menikah. Karena tak habis pikir, orang tuanya langsung memberikan dan merestuinya, Karena toh sudah dianggap cukup umur dan dewasa, maklum baru saja tamat SMP, dianggap sudah dewasa, dan tidak perlu disekolahkan ke SMU, karena biayanya sangat mahal, dan pada akhirnya ke dapur dapur juga ujung ujungnya. Maka dikawinkanlah mereka dengan restu dari kedua orang tua mempelai.

Malam pertama adalah suatu yang menjadi dambaan pria puitis basi itu karena sudah banyak pelajaran yang ia lahap, mulai baca baca buku stensilan yang di jual di pinggir jalan dengan cover cover seronok dan judulnya yang kacangan, ditambah lagi dengan pesatnya dunia compact disc bajakan, maka makin mudahlah untuk mengakses pelajaran malam pertama itu, dan bahkan tidak diketahui oleh siapapun ternyata pria itu sudah tiga kali menyetubuhi perawan dengan rayuan sialan, dasar bangsat.

Sebenarnya apa yang diharapkan pemuda itu, dia hanyalah seorang penganggur, namun janganlah salah, dandanannya itu selangit, manager mananpun kalah kerennya, dan semua tampaknya tertipu oleh penampilannya. Apakah dia memang penipu ulung, banyak yang tak menyadarinya dan terjerat oleh rayuan gembelnya.

Padahal laki laki itu tampangya hanyalah pas pasan, katanya sih setelah ditusukkan susuk di debuah kota yang memang dari kota ini adalah luar kota, disana ditempelkanlah susuk yang sangat mujarab, di keningnya supaya memancarkan cahaya cahaya kegantengan muka pas pasannya, dan satu lagi, satu lagi, orang orang sudah lupa cerita jelasnya, pokoknya katanya bisa tahan berlama lama dalam hal bobok bobok, katanya sih, tapi pria itu pun pernah mencoba khasiatnya, iya ,itu setelah memasang susuk di dua bagian tubuhnya yang dianggapnya seksi dan representatif, dia langsung mencoba keampuhannya.

Anak Pak Lurah yang cantik tapi giginya tonggos dan perutnya agak buncit karena banyak makan langsung kesengsem, pria itu pun tak menyia nyiakan kesempatan, setelah memberikan puisi puisi yang keluar dari segenap birahinya maka korban pertama telah menjadi tepat sasarannya. Dan anaknya pak lurah pun tak berani cerita pada siapa siapa, karena takut didatangi lagi dan diajak berbuat aneh aneh oleh si pria itu.

Memang pria yang aneh, kemudian korban keduanya adalah wanita usia tiga puluh lima tahunan, tinggal di depan rumahnya, dimana suaminya agak tua, dan seringlah istrinya itu ditinggal tinggal, katanya sih rapat penting dengan relasi bisnis. Hingga pria itupun mulailah mendekati dengan melancarkan serangan, mendekati dengan intensifnya, hingga pada suatu malam yang hujan itu besar dan membuat suasana dingin, tidak ada seorangpun yang keluar malam itu, karena memang hujan menghambat pergerakan orang orang untuk keluar malam malam.

Tapi tidak bagi pria itu, dia mendatangi rumah tetangganya, karena memang sudah dianggap biasa bertamu, suami si istripun tidak ada di rumah pula, dan pada saat itulah lelaki itu langsung menggerayangi dan melampiaskan nafsunya setelah berbulan bulan ditahanya hasrat itu, namun wanita itu juga senang akan kelakuan tetangganya itu meskipun pada awalnya merasa kaget dan agak terpaksa, karena pada awalnya dia menjerit jerit pada saat kejadian pertama kali itu dan tak ada seorang pun yang mendengar, maka kemudian hal itu terjadi bahkan secara sukarela, dan setelah malam itu sering juga di panggil dari depan rumah wanita itu dan beberapa kali melakukannya, di waktu siang, kadang malam malam, hingga akhirnya si lelaki bosan, mengselingkuhi istri orang.

Korban ketiga tidak pernah terdeteksi, namun pada pokoknya membuat dia tersadar dan sesegera mungkin menikah, karena perbuatannya itu dirasanya tidak baik, apalagi setelah mendengar ceramah ceramanh disamping rumahnya yang memang tidak terlalu jauh, yang pada kenyataannya biasanya dianggap angin lalu, namun mungkin karena sudah beberapa tahun mendengar, dan ada juga pengaruhnya. Setelah korban ketiga itu, penjahat kelamin itu akhirnya insaf dan ingin menikah dengan wanita secara baik baik.
Diapun bersumpah akan pergi ke tempat keramaian dan akan mencari jodohnya di situ, siapa pun wanita yang lewat dan dianggapnya melirik padanya, maka itulah jodohnya. Hingga wanita itu, yang baru lulus Sekolah Menengah Pertama dan sebetulnya wanita itu pertama kali melirik karena melihat ada boneka anjing anjingan yang lucu digantung gantung, kebetulan lelaki itu berdiri de depannya dan terjadilah kejadian itu.

Memang ketika awal awal perkawinan adalah hari hari yang bahagia dan waktu waktu dihabiskan berdiam saja di kamar. Di kamarlah waktu waktu yang bergulir dan berubah itu dilalui, tak terasa beberapa hari telah berlalu. Dan lelaki itu tersadar ketika sarapan pagi yang disuguhkan oleh mertua pria itu, diapun berpikir bahwa harus mendapatkan pekerjaan yang menghasilkan banyak uang.

Kemudian diapun teringat pada keponakannya yang padahal usianya itu lebih tua darinya, seorang penyalur tenaga Tenaga Kerja Illegal, yang sudah banyak korbannya tidak diberangkat berangkatkan ke luar negeri. Hingga dengan terpaksa setelah dia tabungkan uang dari para calon tenaga kerja illegal itu berbunga barulah ia berangkatkan, dan kalaupun ada yang tidak jadi berangkat dia pun mengijinkan dan uangnya tidak kembali, dia menghitungnya sebagai biaya makan, transportasi, akomodasi dan lain sebagainya.

Namun tentunya untuk saudara yang memang tidak terlalu jauh juga tidak terlalu dekat, pasti segala urusan lancar, terbukti dengan tanpa daftar pun bisa diberangkatkan keluar negeri. Dan jadilah kerja di luar negeri, belum beberapa hari penyakit birahinya kambuh, dan dia pun mulai nguber nguber cewek bangkok dan bohai disana, dan dia pun selalu menelpon dan berkonsultasi pada ponakannya itu, karena mendengar berita begitu, ponakan itu langsung terbersit niatnya untuk memisahkan pamanya dengan bibinya itu, karena kepincut dengan bibinya.

Lalu dia menyusun rencana secara perlahan lahan, diberitahukannyalah peristiwa itu ke bibinya dan langsung saja bibinya percaya, karena memang gayanya yang meyakinkan, dan kepergian suaminya itu oleh ponakannya difitnahkan sebagai alasan untuk meninggalkan bibinya itu. Dan malang nasib perkawinan mereka, kandas karena jarak yang memisahkan dan nafsu dari sang suami yang tak terbendung, akibat pemberitaan dari ponakan jahanam itu. Kemudian pada suatu hari di siang bolong setelah beberapa jam dikeluarkannya surat cerai dari pengadilan, si ponakan dengan cengkraman kuat membekam dan menindih bibinya itu, segera setelah itu hujan deras air mata keluar dari segala penjuru.

Setelah kejadian itu selama dua purnama wanita itu bersedih, karena kehormatannya direnggut secara paksa, serasa dikencingi anjing sialan di saat yang tidak direncanakan dan dinanti nanti. Dia meratapi nasibnya selama itu, namun setelah dua purnama bersedih, dia bangkit dari kesedihannya. Dan dia menetukan pilihan pada hari esoknya, kepada bocah itu, bocah tengil, setelah digoda seharian di depan pos ronda.

Sebetulnya bocah tengil itu adalah adik kelasnya yang selau ngintil ngintil ketika mereka masih satu sekolah. Karena masih bocah ingusan, diapun merasa suka, lalu diikutinya wanita itu kemanapun dia suka, bahkan ketika ke wc bocah itu mengikuti dan kemudian terjadi keributan di wc wanita, naas sekali bocah itu dilempari air comberan dengan pengusiran dan ditambah lagi dengan mulut mulut cerewet menggerutu. Bocah itu tertunduk lesu.

Hingga akhirnya bocah tengil itu putus asa dan merasa tiada guna hidup lagi, ditambah lagi oleh orang tuanya tidak diberi uang untuk membeli buku di sekolah, tambah pula kebimbangan dalam hatinya, namun dengan tekad baja dan kekuatan dirinya, bocah itupun tidaklah redup aura hidupnya setelah melihat dangdutan di pesta kawinan kampung tetangga, setelah menari dan memberi sawer biduan andalan dari grup dangdutan itu.
Cerita Palsu

Duduk dengan menghisap sebatang rokok, di sebuah warung kopi yang tidak terlalu ramai, maklum jam begini biasanya orang – orang sedang bekerja. Aku seorang penganggur yang tidak tahan akan kepalsuan dunia ini. Memang pada jam begini kebiasaan yang selalu dilakukan hampir tiap hari menyalakan sebatang rokok dan menyeruput sedikit demi sedikit kopi hangat yang hitam dan pekat dengan tidak terlalu banyak gula.

Di depan warung pun jarang sekali kendaraan hilir mudik, tetapi sesudah jam pulang kerja ramai sekali kendaraan hilir mudik dan orang – orang pun mulai banyak yang berlalu – lalang. Aku hanya sendirian adanya di warung ini, eh …. Tidak, si Yati penjaga warung ini tentunya bisa disebut juga menemani, jadi kita hanya berdua, lama sekali aku menatap ke arah ijem itu karena dia memang menarik.

Namun ijem, gadis belia yang bernata sipit dan berkulit kuning langsat itu hanya diam dan termangu karena belum kunjung tiba pelanggan – pelanggan yang biasanya menyempatkan mampir di warungnya untuk sekedar menyeruput kopi dan bersenda gurau dengan mimik – mimik muka palsu itu.

Tiba – tiba datang seorang pria paruh baya dengan pakaian lusuh memasuki warung ini, kemudian memesan segelas kopi susu dan sebatang rokok, si Yati pun serta merta dengan gembira melayani pesanan dari pria paruh baya itu.

Pria paruh baya itu menatapku dan melemparkan senyum kepadaku, aku pun membalas dengan senyuman palsu, karena senyuman tak tulus ini akibat dari rasa miris dengan keadaannya yang lusuh itu. Pria paruh baya itu memulai pembicaraan, “Aku tahu senyum yang kau sunggingkan itu palsu adanya, maukah kau mendengar sebuah cerita tentang kepalsuan?”

Aku tidak menjawab, namun pria paruh baya itu mulai bercerita tanpa mau menunggu jawaban dariku, mau atau tidaknya mendengar cerita dia ini. Dan dia pun memulai ceritanya.

Ketika malam tiba, cahaya – cahaya palsu mulai menyinari hamparan jalan yang pembangunannya penuh kepalsuan. Aku pun berada di sebuah cafĂ© yang pelayanannya menawarkan jasa – jasa palsu, aku bersama seorang perempuan yang menaruh cinta palsu dalam hatinya begitu pula dalam ucapan, aku pun menatap dengan tatapan palsu, dan kata – kata roman picisan yang keluar dari bibir ini hampir semua palsu.

Jemarinya pun kuremas dengan penuh kasih palsu, rambutnya kubelai dengan belaian palsu, cumbuan dan rayuannya pun semua palsu. Kemudian kami berjalan menyusuri lorong, jalan, jembatan palsu di kota palsu ini, dengan langkah gontai namun sarat ayunan langkah palsu, sambil bercerita kisah – kisah palsu yang duah biasa dipalsukan oleh para pendongeng – pendongeng sebelumnya, ada juga pengalaman – pengalaman palsu yang dikemas dan diceritakan dengan meyakinkan.

Sebetulnya, aku dilahirkan dari keadaan palsu, kemudian dibesarkan oleh norma – norma palsu dan dalam pergaulan pun etika – etika palsu menjadi pedoman. Begitupun ketika bersekolah, aku diajarkan oleh pemikiran – pemikiran palsu, senyuman – senyuman palsu antara pendidik dan didikan sehingga yang ada ijazah pun palsu.

“Cukup Pak! sudahi saja, cerita itu tidak logis dan terlalu bernafsu, seakan menaifkan diri sendiri dengan lingkungan yang dikenal.”

Aku menyela cerita pria paruh baya itu, tanpa sadar aku mengikuti setiap alur yang diceritakan pria itu dan terbawa arus. Kemudian pria paruh baya itu tidak melanjutkan ceritanya, padahal aku menunggu sanggahan atau kelanjutan cerita yang akan dilontarkan dari mulutnya. Tapi sudahlah, saatnya aku pergi meninggalkan warung ini, karena aku harus melakukan sesuatu.

Setelah membayar uang pada si Ijem kemudian aku pergi meninggalkan warung itu, meninggalkan sebuah cerita tentang kealsuan seorang pria paruh baya yang tak dikenal, dengan pakaian lusuhnya.

***
Ketika langit langit terbuka sinarnya serta pancarannya menelusuri kamar sempit ini, di ruang ini tempat masuk sinar itu hanya sedikit, tapi langsung mengenai wajahku. Aku kemudian tersadarkan, kembali lagi pada realitas setelah hanya empat jam dalam genggaman sang dewi mimpi, setelah terjadi perdebatan semalam dengan sebuah topik yang tak jelas juntrungannya dan selalu saja diperdebatkan. Dengan seorang teman yang nyentrik dalam menuangkan ide dan gagasan yang konyol, menurutku tolol, tapi begitu dihormati di tempat aktifitasnya dan memang dianggap sangat brilian.

Wajar saja, karena kenikmatan tersendiri terjadi tatkala persilangan pendapat mulai memuncak dan saling beradu argumen, tentunya dengan saling menyertakan pendapat ahli untuk memperkuat, dan kekuatan argumen dengan nada yang meyakinkan.

Tapi aku tak tahu nama jelasnya, dan dia pun tak tahu namaku sejelas jelasnya. Kami bertemu hanya saling mengucapkan “hai”, menegur dengan mengatakan “kamu” “aku”. Tak pernah mau untuk bertanya siapa dia atau aku, dari mana asalku dan asalnya, kami rasa tidak perlu memang, meski sudah lama saling mengenal. Yang penting saling percaya dan merasa cocok.

***

Keraguan itu selalu hadir, terlebih lagi ketika hendak memilih, membuatku bingung. Buku mana yang sekiranya akan kupilih yang dapat mengungkapkan pencerahan dalam berpikirku, lama sekali, hingga satpam di toko buku ini memperhatikanku, dan berputar putar disekeliling, mungkin curiga. Tapi, peduli amat, yang penting aku harus mencari buku yang akan memberikan pencerahan. Demikian bosannya selalu membaca buku – buku yang bernadakan mengatasi pengangguran, karena sama saja yang dibahas di balai pelatihan kerja dan dibaca dibuku, nyaris sama. Terlebih lagi kalau yang mengajar hanya dengan membaca buku, apakah tak ada pemikiran lain yang bisa disajikan?

“Coba bacalah buku ini kawan” seorang pria yang sebaya denganku berkata dengan nada dan mimik bersahabat, namun membuatku terkagetkan.
“Buku apa itu, tentang apa?”
“Bacalah, dan renungkan maknanya dalam-dalam kawan. Oh iya, perkenalkan, namaku ….., ah tak usahlah, tak penting”
“Mungkin aku akan membeli dan membacanya”

Kemudian tanpa saling berpamitan langsung saja pergi tanpa meningglkan kesan apa apa, hanyut seperti angin yang bertiup dan tak berbekas, larut seperti kenangan – kenangan yang selintas dan terlupakan dengan mudahnya.

Hari berlalu dengan rutinitas keseharian yang membosankan.

***
Temanku itu datang lagi ke tempat ini, datang dengan membuat kaget. Seperti biasa dia membuat kopi dua, satu untukku dan satu untuknya, karena dia sudah sering dan menjadi kebiasaan apabila bertamu kesini. Setelah itu, pembicaraan pun dimulai dengan menuangkan gagasan – gagasan gila, tapi aku sedang tidak siap hari ini, maka kukatakan,

“Sudah – sudahlah kawan, kita bicara masalah lain saja”.

Dalam sekejap kuakhiri hasratnya untuk berdiskusi, tidak enak juga perasaan ini padanya, tapi karena kelelahan tersendiri. Bukan karena aku sengaja disebabkan bosan dengan ide – idenya.

Namun, rupanya dia agak keheranan, tidak biasanya, tak bisa lagi pembicaraan selain diskusi – diskusi gila. Dengan nafas agak berat diapun berkata “aku tak pernah mempunyai nama dan tak ingat kapan dilahirkan” dalam sekejap itu juga keadaan menjadi hening.



_________________
Beja Kabayan, Komunitas Rumasa, Maret 2004
Hening dan Senyap

Bayangan berkelebat, berkeliaran kesana kemari, senyumnya licik. Derap langkah tak terdengar namun jelas, sosoknya menggumpal dalam lembaran kelam. Bayangan menghentakan langkahnya ketika dalam juluran kegelepan. Hembusan yang menegakan kuduk tak lagi di tepis, karena bayangan itu membayang-bayangi. Ketika berbayang-bayang pun samar terlihat dan mengikuti, namun tak senada, perolehan yang tertumpah terpencar dan menyusur pelan-pelan, tapi munghkin dan pasti. Remang dalam ruang yang terhampar benih-benih kelam, dan temaram menyesatkan jejaknya untuk diikuti.

Kemudian, tak ada apa apa lagi disini dan tak ada yang bisa diharapkan. Makanan yang biasa kita makan raib, entah kemana. Kasih kasih yang dikisahkan pun ikut menghilang seperti uap embun yang melayang ke udara dan menjelma menjadi tak tampak.

Semua tak heran akan keadaan ini, karena telah diramalkan oleh para peramal yang dengan muka bersihnya namun lantang bahwa peristiwa ini akan terjadi. Dan kemudian telah dibukukan dalam kitab kitab yang sengaja untuk dipublikasiakan.

Tapi ketika itu, teman yang selalu menemani menjadi teman teman yang tak menemani. Belaian yang pernah disematkan dan mengurai rambut ini menjadi terlupakan dan semakin terlupakan dengan lajunya waktu. Kemudian bayangan itu selalu mengikuti kemanapun aku pergi, mengikuti dan mengikuti, dalam dan tak terhingga, sedalam lautan yang tak bertepi di tengah karang karang gelap dasarnya.

Dahulu, bayangan itu selalu bermuka manis dan penurut. Selalu mengikuti apa yang kami kerjakan, mereka mengikuti dengan persis gerakan demi gerakan. Dan, ketika itu bayangan bayangan itu mulai kebosanan, kemudian memiliki nyali sendiri untuk membangkang. Hingga perubahan itu tak terjadi secara drastis, bayangan bayangan itu mulai dengan mengikuti gerakan tapi menjadi lambat, tidak seirama dan sama persis, kemudian hari demi hari, tahun demi tahun, waktu demi waktu, bayangan bayangan itu mulai menunjukkan perubahan dan perilaku mereka pun berubah, menjadi tidak bersahabat.

Aku bergegas untuk melarikan tubuh ini dari bayangan yang menggentayangi, namun tak ada kawan yang menolong karena mereka sendiri terbujur, terkapar oleh pesona redupan bayangan bayangan itu. Sehingga, luapan emosi yang selalu disumbarkan ini tak berarti apa apa. Perlawanan yang diarahkan kepada bayangan itu selalu berakhir dengan kegagalan diri sendiri.

Makin dan semakin kebingungan, mengapa bayangan ini terus melekat. Semakin dalam menyelami kegamangan ini, kemudian tampak dan muncul lagi bayangan lainnya. Bayangan yang mengikuti ini bertambah dan menjadi dua, kemudian mereka menertawakan dan mengejekku, kadang kadang mereka berbisik di hadapanku sambil menyunggingkan senyum tanpa makna, sinis, dan berkata “aku telah hidup dan berpikir”

Akhirnya genderang perang kutabuhkan, senjata senjata pemusnah disiapkan. Aku siap untuk menumpasi bayangan itu, semakin tidak bisa diatur karena mereka mempunyai nyawa sendiri. Perlahan namun pasti, dipersiapkan dengan matang, strategi strategi cerdik dan tidak memandang rasa. Dengan menghalakan segala cara tentunya.

Bom bom dijatuhkan sehinggga membuat banyak kerusakan, senjata senjata diacungkan kemudian dibidikkan tepat sasaran seperti sniper yang ahli dalam menembak jitu, namun masih saja tidak tepat sasarn, melenceng. Malahan banyak yang terkena tembakan tidak sengaja, banyak orang menjadi mati konyol, tapi tidak ada kata maaf karena ketidak sengajaan ini, seakan berlalu adanya dan tak dipirkan lagi.

Hancur semua dan banyak yang musnah, juga orang orang yang tertembak tak dapat dikenali lagi satu persatu karena saking terlalu banyaknya yang bergelimpangan dan berserakan dimana mana, namun bayangan itu masih saja menampakkan dirinya dan semakin tertawa dengan lepas dengan ejekan semakin menjadi jadi. Hingga akhirnya, aku terpaksa berlari.

Aku berlari tak menoleh lagi ke belakang, apapun yang tertinggal biarkanlah, tak mengapa, karena aku terus berlari menghindari bayangan itu. Aku tak peduli apapun di depan, terus kuhadang, namun jalan lapang dan bersahabat yang kucari dalam pelarian ini. Ini bukanlah pelarian dimana seperti pengecut yang tak bisa menyelesaikan sesuatu kemudian lari untuk menghindari itu. Ini juga bukan lari seperti atlit yang berusaha untuk menjadi juara dengan slogan slogan sportifitas yang mereka junjung tinggi. Tapi pelarian ini juga bukan pelarian tanpa sebab yang tak kunjung arah rimbanya itu.

Kemudian aku teringat sesuatu, sebuah kitab kegelapan, dalam kitab kegelapan itu menyatakan semesta ini awalnya gelap tak berwarna lain kemudian ada terang. Ya, itu dia, aku akan menuju kegelapan, tempat hitam, kegelapanlah yang aku cari. Seperti pernah diajarkan padaku oleh guru yang mengajarkan kitab kegelapan dimasa kecilku dulu. Karena terang inilah bayangan itu menampakkan wujudnya.

Aku menuju tempat tergelap di kota ini, sangat jauh sekali setalah beberapa kali melewati puing puing dan reruntuhan kota yang tak dapat dikenali lagi dan tak tampak pula keindahannya seperti dulu karena memang telah musnah akibat serangan yang dilancarkan pada bayangan itu. Disinalah akhirnya, tempat tergelap yang tidak tersentuh oleh cahaya, dan memang bayangan itu perlahan menghilang seiring dengan tak adanya cahaya.

Hening dan senyap ketika bayangan bayangan yang selalu menyertai itu menghilang, dan raib tanpa meninggalkan sedikitpun pesan. Setelah sekian lamanya waktu bergulir, ada semacam kerinduan, umtuk mencandai dan ke dalam ingatan dimana bayangan itu mulai berada dengan wajah manisnya, menuruti setiap gerakan yang dilakukan dan tampak seirama. Apalagi ketika menari, seperti dahulu ketika menari dengan gelak tawa dan keriangan terlukiskan diwajahku dan teman teman. Bayangan itu itu ikut menari dan tampak gembira seperti halnya kami.

Dan waktu berjalan dengan iringan detikan yang berirama teratur, tiba tiba cahaya masuk ke tempat paling gelap ini, hingga akhirnya bayangan itu datang lagi, dengan membawa semakin banyak teman teman yang lainnya, tapi kini lebih menyeramkan. Tak seorangpun dapat menolongku kali ini. Dengan lirih aku berkata
“bebaskan aku”

Sunday, October 01, 2006

Merenda Perjalanan

Terbaring, tak terjaga, menatap dengan tatapan, tatapan, tatapan.
Gamang dengung rindu sahaja kelabu menjalin renda dimana dan mana.
Meliuk liuk menarik asa di keremangan. Malam, siang, pergantian
waktu.

Pergantian waktu?
Kemanakah gerangan pikiran?

Pergantian waktu selalu saja terlupakan, kategori dan nalar tak
pernah menyoalkan pergantian waktu, antara siang dan malam, antara
siang dan pagi, antara gelap dan terang, sebuah ruang yang remang dan
redup, menuju sebuah cahaya atau menuju kegelapan. Sebuah ruang
antara dan tak terjangkau ataukah memang kita berada diantara itu.

Antara kamu antara aku antara kita, sebuah ruang yang memisahkan
jarak. Jarak yang jauh dan dekat, sebuah jarak antara, dekat atau
jauh, antara, antara. Antara laki laki dan perempuan, adakah antara
laki laki perempuan. Laki laki berjiwa perempuan terjebak di ruang
antara. Perempuan berjiwa laki laki terjebak diantara ruang antara.
Antara laki laki dan perempuan, terjebak di dalam antara.

Anak anak menuju dewasa, dewasa menuju kekanak kanakan, dimana ruang
antara anak anak dan kedewasaan, anak anak dalam kepolosan namun
terkontaminasi oleh otoritarian parental sehingga pemberontakan nalar
bawah sadar menuju kedewasaan, sementara dewasa berdegradasi menuju
impian kanak kanak dikarenakan kepenatan dan kejemuan oleh keseharian
yang telah memenjara dan terkungkung oleh waktu dan ruang.

Dibesarkan dengan keadaan, dan berlanjut dengan keinginan keinginan
menjadi orang lain, disuruh menjadi orang lain atau merupakan hibrida
dari tekanan untuk menjadi yang orang tua inginkan.

Aku pernah bertemu dengan sebuah jiwa yang tak pernah merana, padahal
aku sangat rapuh dan tidak percaya akan adanya ada. Tak terduga
putaran mengenai kesembaban diacungkan ke sekitar kesempitan yang
pernah ditanam namun selalu saja semua ragu, ragu di dalam adanya
ada. Tawa tak sempat terselip di dalam setiap bibir yang indah itu,
selalu dan memang tapi tidak pernah terjadi. Semua kebingungan tapi
tidak pada kegalauan mendera.

Mendaki terjal sebuah dunia yang tak bersahabat, dimana tak pernah
rindu akan kebersamaan yang selaras. Tinggi dan semakin sesak dalam
hirupan tiap hisap pertama, kedua, dan tersungkur pada detik detik
hisapan ketiga. Mata yang jalang dan menerawang terselip nakal binal
mendera, hanya ada tatapan yang tak kuasa menahan beratnya kedipan.
Selalu saja ada terselip tanya dan tawa ketika pertanyaan itu datang,
hingga akhirnya aku harus berjalan, berjalan sendiri. Berjalan
menyusuri susuran susuran.

Aku berjalan dengan, dengan diri sendiri menikmati tiap ayunan
langkah yang terayun sedikit demi sedikit, terayun kaki kiri,
kemudian diayunkan kaki kanan hingga membuat berjalan perlahan.
Perlahan namun berjalan, jalan, dan jalan, sungguh menikmati sehingga
orang yang berlalu dari kiri dan kanan, depan belakang tak pernah
kuperhatikan. Peduli amat, aku menikmati tiap ayunan langkahku.

Mentari terik, awan biru sebiru laut, pantulan dari angkasa. Aku
berjalan mengikuti jalan, belok ke kiri dan belok ke kanan, kemudian
lurus, belok ke kanan dan belok ke kiri kemudian berjalan di arah
kiri, berjalan lurus dan lurus. Terdengar swing, swing, swing, swing,
swing, mobil, motor menderu deru dan berjalan, asapnya mengeluarkan
gas yang membuat batuk, ugh, tapi peduli amat.

Padahal juga disekeliling terdapat bangunan besar besar mengeluarkan
asap terbal, tebal sekali pekat dan hitam, orang yang menghirupnya
pasti akan pingsan, mati keracunan. Sementara air air yang
dikeluarkan dari bangunan besar itu berwarna hitam dan baunya sangat
menusuk tajam, gimana orang yang mandi disana, pasti kulitnya bisa
berubah, mengerikan sekali.

Hei, mobil mobil berlalu lalang, tapi kenapa mobil itu diam disana.
Tapi bodo amat, kali ini ada sedikit perhatian, kenapa mobil mematung
disitu, tapi ada sedikit goyangan, goyangan. Kuhampiri dekat dan
mendekat, terdengar desahan. Suara apa? Manusia, mendekat dan lebih
dekat lagi, ah, pria dan wanita sedang tumpang tindih, kobel dan
dikobel, memasukkan dan dimasukkan, tarik menarik, tancap ditancap
dan menancap, dalam sebuah gerakan yang teratur, desah dan mendesah
terdengar suaranya, gila, panas terik begini, dasar, si wanita
melirik ke arahku, kemudian mengedipkan matanya padaku dengan
manjanya, gila, dasar gila, dengan segera kutinggalkan mobil yang
mematung di tepi jalan ini.

Aku semakin tak peduli dalam pandangan untuk melihat apa apa yang
mematung dan berlalu lalang di sepanjang jalanan ini. Tapi terlihat
anak anak kecil umur enam tahunan, bergerombol dan menghampiri mobil
yang berparkir tadi, mereka menonton dan keasyikan, waduh, anak anak
sudah menonton pertunjukan seks, langsung lagi, ah, bodo amat.

Warung kopi, aku ingin, minum disana, sepertinya enak sekali. Aku
mencoba untuk mampir. Memesan kopi, masih panas, kutunggu hingga
dalam hirupan tidak membuat kelu lidah. Disana sini terdengar orang
orang yang menyeruput kopi berdesas desus, tentang artis selingkuh
kemudian yang bugil dan mesum, aih kayak nggak ada kerjaan lain aja,
kemudian disebelah juga ada percakapan, sepertinya lebih berbobot,
biasa tentang politik, dasyat, ngalor ngidul, namun dengan pemaparan
bahasa langit yang terdengar dan terkesan ilmiah, padahal kalau
diartikan ucapan yang biasa kita ucapkan, aih ada ada saja, sebuah
prestise kali, dengan jelas terdengar pria botak itu berkata kata
hingga aku bosan mendengarnya, lebih baik kuhabiskan minuman kopi ini
dan hengkang dari sini.

Tiba tiba saja ketika kutinggalkan warung itu, penjual koran
menawarkan koran dengan diasong asongkannya padaku, ada rasa tertarik
juga untuk membelinya dan kasihan juga penjual koran itu anak kecil.
Huh, kecil kecil sudah bekerja dan menghidupi diri sendiri, iba
sekali, apakah tidak ada yang peduli untuk memberikan fasilitas
pendidikan pada anak anak, dan diakhiri hanya dijalanan, dan
penjualan koran sebagai penopang hidup. Aku membeli satu, dengan
harga sekitar dua ribu lima ratus rupiah, sambil berjalan kubaca
baca, tapi paling menarik pada rubrik tentang analisa seksualitas,
segera saja kubaca, buat pengalaman.

Hingga setelah habis kubaca, hanya ada satu kata, Gila! Tulisan apa
itu? Nggak ngerti ah, bahasanya ketinggian atau sengaja dianeh
anehkan, membacanya saja membuat orang awam seperti ini nggak ngerti,
gak jelas, kemudian koran kulipat dan kukempit di ketiak, dan aku
melanjutkan perjalanan, berjalan dan berjalan.

Perjalanan masih jauh, letih sekali, tapi kenapa orang itu
membuntutiku terus menerus, pakaiannya compang camping, tatapannya,
tatapannya menegrikan dengan dua bola mata berwarna merah, mendelik
dan menatap terus kearahku. Tiba tiba saja berlari kearahku,
menerjang, hingga aku dan dia roboh, berguling guling. Lalu dia
berdiri dengan tegap menghentakkan kakinya, kemudian melangkahkan
satu kakinya tangannya, tangannya menunjuk kearahku, kemudian mulai
berkata kata, ya, berkata kepadaku.

Kemudian orang itu pergi begitu saja, meninggalkanku, kenal aja
nggak. Akhirnya aku mencoba berdiri, lecet dan perih rasanya, dasar
orang aneh.

Aku berjalan dan berjalan, tiba di sebuah persimpangan, persimpangan?
Bukankah jalan mana yang akan kutempuh, sebuah persimpangan yang ada
empat jalannya. Terlalu banyak jalan, membingungkan. Mengherankan
kenapa harus ada banyak jalan, padahal arah tujuannya ke situ situ
juga, aku harus jalan kemana. Kalau aku berpikir terus aku tak akan
jalan jalan lagi, kemanakah harus melangkah. Sementara apakah harus
mematung disini karena bingung memilih jalan. Ah, biar saja, aku diam
di persimpangan jalan ini, tidak jalan lurus, tidak jalan kiri, tidak
jalan kanan, tidak pula jalan di tengah, bodo amat.






_________________________
SASTRA-PEMBEBASAN, wacana sukasamasuka sastrakitakita
Tue, 07 Mar 2006
Penyanyi Kebebasan

Lakukanlah lagi, serangkaian nyayian yang biasa kau nyanyikan di atas
bukit hingga suara suaramu menggema ke seluruh lembah ini. Aku tahu,
kau memang berbakat, maka bernyayilah lagi tak usah ragu. Ketika kau
bernyayi sembunyi sembunyi karena tak ingin ayahmu tahu, aku yang
pertama tahu dan mendukungmu. Ayahmu memang tak ingin kamu maju,
patut disayangkan memang. Juga ketika ibumu hanya diam berpangku
tangan ketika kau menyanyi, tak peduli, biarkanlah, anggap saja angin
yang menerpa dan beralu begitu saja. Maka tak usah kau pedulikan
semua itu, tetaplah menyanyi.

Gejolak dan kontradiksi itu simpanlah di dadamu, tapi biarkan dirimu
menyanyi seperti kicau camar, dan burung burung di pagi hari yang
senantiasa membangunkan kita tatkala kita telah lama memejam. Ketika
terdengar oleh tetanggamu jangan kau hiraukan mereka, mereka hanya
iri akan bakatmu ketika menyanyi, sungguh, suaramu merdu kok.

Janganlah kau bungkam dan hanya menyayi dalam hatimu, terasa sesak
dan terpendam dalam dalam di relung hatimu. Kamu jangan seperti itu.
Aku tahu kau mampu, lepaskan lagi suaramu itu hingga penjuru lembah
ini mendengarnya kembali, tak usah takut.

Aku tahu, memang pada hari kamis malam kau bernyanyi semalaman,
rembulan yang terang menjadi temanmu diatas bukit. Memang pada kamis
malam adalah hari yang tepat, dimana pasar pasar buka dan menjajakan
dagangannya untuk mereka, segala aktivitas dilakukan di lembah ini,
mereka bertransaksi, keasyikan dalam keseharian untuk menghidupi
kehidupan mereka.

Juga pada hari itu, para petinggi tengah berpesta pora dan mereka
meninggalkan kewajibannya untuk meminpin lembah ini. Mereka tak perlu
beristirahat, hanya untuk berpesta pora pada kamis malam. Masih pada
hari itu juga cawan cawan anggur dituangkan di sudut kota di lembah
ini, mereka bersenang senang dimana tak teringatkan akan waktu waktu
yang telah dilaluinya pada hari hari sebelumnya.

Kamis malam memang kuanggap istimewa bagimu, tapi di hari hari lain
kau tetap bernyanyi, apakah kamis malam kau memang
mengistimewakannya? kemudian kau berlari mendaki curam dan terjalnya
bukit. Tidak setiap hari, kamis malam itu kau lakukan pendakian untuk
menggemakan suaramu.

Aku tak mengerti mengapa kamis malam, padahal kau bernyanyi dan
melantun setiap hari, saat semua bertanya kepadamu mengapa kamis
malam, kau hanya tersenyum simpul tak memaknakan apa apa. Atau
mungkin itu hanya sebuah kebiasaan yang dibiasakan dan aku
menganggapnya sebuah hari yang istimewa, tentunya kau pun bisa
menggantinya di hari lain, semua memang terjabak dalam rutinitas dan
keseharian, kini aku tahu dan mengerti maksudmu itu.

Nyayianmu itu tidak seperti yang biasa oleh orang orang dinyayikan
dan dijual ditoko toko itu dengan harga mahal, kemudian diputar di
media media dan diberitakan. Juga diadakan penghargaan yang hanya
secuil nilainya itu. Nyayianmu adalah nyayian yang membebaskan kita
semua dari nyayian nyanyian picisan itu.

Masih ingatkah kau sebuah peristiwa ketika kita bersama bernyanyi
bersama para pemuda untuk meggulinggkan penguasa yang telah lama
berkuasa dan menyengsarakan kita semua, kau bernyanyi paling lantang
dan suara suara keberanianmu didengar oleh siapapun. Semua memasang
telinga pada suara naynyianmu, yang kau nyanyikan pada waktui itu
adalah suara keberanan dari hati nuranimu, juga hati nurani kita
semua yang telah penat akan gegap gempitanya kepalsuan yang
dipelihara.

Kemudian setelah itu kau menghilang dan kabar yang tersiar kau telah
diculik, tak ada kabar dalam beberapa hari. Kemudian semua orang
bertanya gerangan mengetuk ngetuk kembali pintu kekuasaan, kemudian
berkat usaha kita bersama kau diloloskan dari penculikan itu. Aku
sangat terharu ternyata kau dapat diselamatkan, tapi kau…..,
keadaanmu sangat mengenaskan, rupamu sudah tak karuan. Mungkin orang
yang terdekatpun tak akan mengenalimu lagi, tapi aku masih
mengenalimu. Meskipun kau dalam wujud tak karuan ini, aku masih
mengenalimu.

Namun tak ada lagi lantunan nyayian yang mengalun melewati rongga
rongga dan tersalur keluar dari mulutmu. Apa yang telah terjadi
kawan? kau tidak mau menyanyi lagi, sementara perubahan terus
berlangsung dan para pemuda kembali lagi pada kegiatan keseharian
mereka. Lagi lagi orang oranmg yang mengikuti arus kembali lagi
menduduki jabatan, mereka mengakui bahwa mereka juga telah melakukan
perubahan.

Tapi aku tak peduli, yang terpenting bagiku adalah kau kawan. Mengapa
kau tidak mau menyanyi lagi? Ketakutan yang kau kuatirkan itu akibat
dari penculikan dan penyekapan apakah masih menghantui jiwa dan
ragamu? Apa yang harus aku lakukan? Mungkin itu kenginginanmu apabila
telah terjadi perubahan.

Aku mulai tak peduli lagi ketika kau benar benar telah berhenti
bernyanyi. Tapi kemudian orang orang mulai mengikuti caramu, gayamu,
tapi kau tetap tak mempedulikan mereka. Sempat kau mengutarakan dalam
keheningan malam dimana semua tertidur dalam kelelapan "aku sudah
letih dan lelah"

Rebahlah dan istirahat, tapi kau jangan berhenti bernyanyi, tolong,
kau memang berbakat dalam menyanyi. Dan setelah kau menenangkan
pertentangan dalam jiwamu, naiklah keatas bukit dan suarakan
nyanyianmu kembali ke penjuru lembah ini. Dan pada saat itu, saat
yang dinanti nanti oleh aku dan semua orang, kau memang bernyanyi
suaramu melantun di lembah lembah, suaramu, ya aku ingat itu suaramu
menyanyikan suara kebenaran dan keberanian.

Namun ketika aku dan semuanya menghampirimu di atas bukit itu malam
mulai menampakkan kegelapannya, dan kaupun tak ada di bukit ini.
"Kemanakah dirimu wahai penyanyi kebebasan ?"

Bandar Lampung, 2004






_________________________
SASTRA-PEMBEBASAN, wacana sukasamasuka sastrakitakita
Tue, 07 Mar 2006