Wednesday, October 04, 2006

Menghilang di Gerbang Cahaya

Dia menyertakan dirinya sebagai tanda pengabdian dan penyerahan
secara sadar. Dia, adalah seorang yang selalu diharapkan orang
orang, telah larut dalam gegap gempita isi dunia yang tidak
bersahabat. Menyudahi kesehariaan yang memanjang, dan, lambat
terdengar sederet bunyi kepasrahan. Pasrah akan penyerahan diri,
pada saat yang telah ditentukan.

Saat itu, ketika malam tak pernah berujung, kunjung tiba di ufuk
penglihatan. Terlihat penampakan seorang yang datang dari kegelapan
tak bercahaya, mendekat dengan langkah yang tak teratur, lambat
laun, agak cepat, berjalan serong kiri serong kanan seperti seorang
yang telah kehilangan keseimbangan. Namun, tidak, bukan itu. Raganya
berjalan, namun jiwanya melayang layang mengikuti arah kegelapan
malam.

Menuju ke arah tak pasti, dimana setiap cahaya yang dicari tak
pernah kunjung, karena memang, malam tak pernah berakhir. Selalu
saja kegelapan itu meraba. Pada siapa saja, bahkan yang telah
mengenalnya lama, tetap saja tak ada pengingkaran, selalu saja.
Malam tak pernah berakhir.

Dan ketika menuju lorong lorong yang semakin pekat, tak ada yang
mengikuti karena malam telah membutakan pandangan.

Hendak kemana kau wahai perindu yang selalu berjalan?

Aku hendak mencari setitik cahaya untuk melepaskan dahaga
pengetahuan yang tak tersudahi akibat ketidak tahuan akan acahaya
itu.

Bukankah selalu saja tak seorang yang menginginkan cahaya, karena
berbahaya bagi siapapun. Tak ada yang beranjak dari kursi cahaya
itu, selain mereka yang muncul dan akhirnya menghilang di cahaya
yang terang, dan tak seorangpun menjumpainya lagi. Sadarlah, lebih
baik kau urungkan niatmu, tak ada apa apa dalam pencarian cahaya,
karena hanya akan menemui hal yang tak berkesudahan, nikmatilah
malam ini, nikmatilah kegelapan ini, untukmu, untuk kita semua.

Tidak, aku akan menuju cahaya itu, dan menyeretnya kemari agar semua
menikmati cahaya itui, aku, kau, juga semuanya. Akan menikmati
cahaya yang kubawakan. Pasti.

Jangan, akan terjadi sebuah perubahan sosial, dimana tak pernah ada
yang menikmati cahaya, dan ketika kau bawakan cahaya itu, tapi
sepertinya tidak mungkin, namun meski kau bawa cahaya itu kemari dan
menerangi semuanya. Akan terjadi sesuatu, entahlah, namun yang pasti
akan terjadi sesuatu, camkanlah itu.

Dan ketika malam jaddah itu ingin diakhirinya dengan memaksa masuk
kearah cahaya yang lambat laun semakin dekat, disongsongnya dengan
berlari. Tak memperdulikan lagi, dimana terus disongsongnya setitik
cahaya itu yang semakin didekati semakin besar. Ada bebarapa kendala
ketika berjalan menuju cahaya itu, beberapa kali tersandung, namun
tak diperdulikannya semua itu, demi menuju sebuah cahaya.

Dan dia menghilang di gerbang cahaya yang orang orang disini tak
pernah berani untuk pergi kesana.



____________________
bumimanusia@yahoogroups.com
Fri, 17 Mar 2006
Menyisir Rambut

Kamu itu laki-laki yang malas menyisir rambut sendiri, tampak semerawut, tapi masih berbentuk dan sedikit rapi. Tak akan kubiarkan rambutmu seperti itu, kuraih sisir yang jarak antara duri-durinya renggang, agar tidak terlalu menyakiti rambutmu. Kusisir perlahan-lahan. Sambil kubelai rambutmu. Aku pun berambut panjang, lurus, tapi aku rajin menyisiri dan merawat rambut sendiri, ah kamu, malas sekali sih.

Ibukulah yang pertama kali mengajari merawat rambut, cara menyisir yang benar, berapa kali harus disisir agar rambut ini menjadi halus. Bagaimana mengeringkan rambut yang telah di shampo. Ah, ibumu mungkin tak mengajarkannya padamu. Mungkin, kamu tidak terlalu dekat dengan ibumu. Bisa jadi benar kata seorang ahli, bahwa anak perempuan dekat dengan bapaknya, dan anak laki-laki dekat dengan ibunya, hmm, mungkin juga.

Tapi itu berlaku dengan keluarga yang ada anak perempuan dan laki-laki, ada bapak dan ibu. Bagaimana kalau bapak dengan anak lakinya tanpa ibu atau ibu dengan anak perempuannya tanpa bapak. Ah, kupikir juga beberapa ahli itu belum menjawab tuntas segala permasalahan.

***

Semenjak kecil, aku lebih banyak bersama ibuku, bapak entah kemana. Mungkin pergi bersama perempuan lain, meninggalkan kita berdua, atau entahlah, aku tak dapat memikirkanya, yang aku tahu ibu hanya memberitahu, bahwa bapak telah pergi, itu saja. Mungkin juga kedekatan dengan ibuku sangat berpengaruh. Entah sejak kapan, aku mulai senang berada di dapur bersama ibu, menemani ibu menyisir rambutnya, sering juga ibu menyuruhku untuk menyisiri rambutnya, yang panjang hitam dan terawat, sangat wangi.

Aku mulai menyukai wangi-wangian yang dikenakan ibu, melihat ibu memakai baju-bajunya, aku ingin mengenakannya. Ah, mungkin sudah besar nanti pikirku kala itu, karena pasti kucoba, dan hanya kedodoran yang ada.

Saat itu aku masuk ke kamar ibu, kudekati lemari tempat pakaian, di sana baju-baju ibu tertata rapi. Aku melihatnya satu persatu, tiba-tiba aku tertarik dengan daster ibu yang berwarna merah, aku tarik dari lipatan-lipatan baju ibu yang menumpuk. Kubentangkan, kutatap, besar sekali. Badanku tertutup semua, kucoba memakainya.

Daster ini tampak besar sekali kukenakan, aku melihatnya di kaca, bercermin di depannya. Kutatapi tubuhku, lalu kuputar-putar. Kemudian ibu datang ke kamar dan memberikan senyuman, mungkin menertawakan aku yang mencoba mengenakan bajunya. Ibu hanya tersenyum, kemudian menggendongku, memelukku. Aku didudukkan di tempat tidur. Ibu meraih kosmetik yang biasa dikenakannya, kuasnya di lesakkan ke dalam isi kosmetik dan ibu mulai merias wajahku, aku hanya diam. Ibu mulai memberiku pemerah bibir, ketika ibu memperlihatkannya di kaca, aku tersenyum, duh gembira sekali aku waktu itu. Ibu mengatakanku cantik.
***

Selepas sekolah aku melanjutkan kuliah ke Fakultas Filsafat di sebuah perguruan tinggi negeri. Aku selalu terkenang, ibuku mengantar menuju kota itu. Dia selalu gelisah dan selalu menanyakan, Apakah ada yang tertinggal? Bagaimana kebutuhan-kebutuhanmu? Aku pun menjawabnya bahwa ibuku ini telah menyiapkan jauh-jauh hari sebelumnya, dan tak ada yang terlupakan, ibuku memang hebat. Tapi ini pertama kalinya aku jauh dengan ibuku, ada rasa khawatir.

Aku merasa beruntung sekali bisa lolos ujian masuk perguruan tinggi, aku merasa lega. Bagaimana tidak, saingannya banyak sekali, seluruh Indonesia. Kupikir ini adalah sebuah keberuntungan, pilihan pertamaku di Fakultas Psikologi, alasannya karena ingin mengenal diriku lebih jauh, lebih dalam lagi, bisa memetakan, menggambarkan, memberikan penyelesaian terhadap kondisi kejiwaan seseorang, ah, sepertinya berat. Pilihan kedua di Fakultas Filsafat, entah kenapa aku memilih ini, mungkin untuk menjadi seorang yang bijak, entahlah, aku juga tidak yakin apa yang membuatku tertarik pada Fakultas ini. Pilihan kedua inilah yang tembus, ya, aku akan kuliah di Fakultas Filsafat.

Aku menggunakan kereta api dari tempatku ke kota itu, jarak tempuhnya sekitar setangah hari, cukup jauh dan melelahkan. Aku memandangi arah kereta ini, sepertinya laju kereta ini berjalan mundur, ah, ini mungkin hanya perasaanku saja. Ibu hanya tidur saja dari tadi, kami duduk bersebelahan. Aku tidak pernah bepergian jauh, baru kali ini, apalagi naik kereta. Pemandangan-pemandangannya menarik, rel ini membelah gunung, pesawahan, rumah-rumah dan sedikit hutan-hutan. Itu stasiun, kubangunkan ibu untuk segera bersiap-siap, ibu terbangun dan melihat sekeliling kemudian mengatakan bahwa perjalanan masih jauh, lalu tidur lagi.

Lima menit sebelum sampai di stasiun, ibu bangun, menggeliat. Ditatapnya pemandangan-pemandangan dari kaca jendela kereta, ibu menyebutkan kereta sebentar lagi akan sampai di stasiun tujuan kita. Benar, beberapa saat kemudian kami tiba. Ibu sepertinya sangat mengenal kota ini. Dia berjalan keluar dari stasiun dan segera tahu akan pergi kemana, aku bertanya, ibu hanya menyuruhku untuk mengikutinya.

Ternyata ibu mempunyai rumah di kota ini, tempatnya pun tidak terlalu jauh dari kampus, hanya satu kali naik bis kota. Rumah ini hasil kerja keras bapak sewaktu masih bersama ibu, rumah ini menjadi tempat berlibur, begitulah ibu meriwayatkan rumah ini. Ah bapak, mahluk seperti apa dia! Pergi begitu saja meninggalkan kita. Ibu hanya tersenyum.

Ibu hanya sebentar disini, karena besok harus bekerja. Sebelum kembali, ibu memberikan nasihat-nasihat, catatan-catatan yang harus dilakukan, dan jangan lupa bahwa disuruhnya sering menelpon ke rumah. Besok, aku akan memasuki dunia perkuliahan, entah bagaimana rasanya. Senang bercampur gelisah, besok apa yang akan terjadi?

***

Aku pergi ke kampus, naik bis kota. Berjalan menuju Fakultas, disana dijajarkan mahasiswa-mahasiswa baru. Tahu apa yang kukenakan? Baju hitam putih dengan kaus kaki yang berbeda warnanya, aduh sungguh menggelikan, mau kuliah kok disuruh beginian.

Ya, aku selalu ingat, agak sedikit terkesan ketika pertama kali masuk kuliah. Aku saat ini genap kuliah empat tahun. Tak terasa waktu cepat sekali berlalu. Beragam aktifitas kegiatan di kampus, kucoba ikuti. Baik itu di dalam kampus maupun di luar kampus. Bersama teman-teman yang peduli dengan permasalahan transeksual mengadakan diskusi dan kegiatan-kegiatan lainnya, rumahku pun menjadi pusat kegiatan.

Semakin banyak saja orang-orang yang datang dan kegiatan semakin padat. Sebetulnya aku membangun kegiatan ini dengan seorang teman, awalnya hanya kami berdua. Seringnya bersama dalam kegiatan-kegiatan timbul rasa saling mengagumi. Cinta itu datang, ah entah apa namanya, aku selalu ragu, apakah betul seperti ini, aku ragu dengan hubungan seperti ini. Tapi hari demi hari terus berjalan, seiring berlalunya waktu, aku semakin yakin dengan hubungan ini.

Ketika kita berdua, aku senang menyisiri rambutmu dengan tanganku, begitu lembutnya rambutmu, kita pun tersenyum dan aku menggelayut manja di pangkuanmu. Bergantian, kau membelai rambutku. Kita pun saling berbagi pengalaman, apa yang dirasakan, yang disukai dan tidak disukai, sehingga saling memahami satu sama lain.

Kala sendiri aku selalu ingat keadaanku, keadaanku akan seperti ini saja, aku tidak akan mengoperasi setiap tubuhku menjadi yang bukan semestinya. Kupikir inilah keadilan bagi tubuhku, dan tubuhku adalah milikku. Biarlah jiwaku seperti ini adanya, dan kau bisakah menerimaku apa adanya? Oh iya, kita jangan bicara tentang agama, karena aku akan selalu salah, salah dan salah. Hubungan kita pun tidak akan dibenarkan.

***

Suatu ketika aku melihatmu bersama seorang perempuan, cantik sekali. Di suatu sore di sebuah café. Kau begitu akrabnya, berbincang-bincang, di sela-sela itu kalian tertawa sesekali pertanda sangat menikmati pembicaraan. Kau menyuapi makananmu ke perempuan itu, dan dia tersipu malu. Setelah itu dia mendekap kearah tubuhmu dengan manja, kau pun membelai rambutnya, menyisiri rambutnya dengan tanganmu.

Aku menatap peristiwa itu dengan hati yang berdebar, berdegup kencang, kuharap itu bukan kau, kuharap ini bukan kejadian yang sebenarnya. Ah tapi ini memang benar-benar terjadi. Hatiku seperti disambar petir hari ini, sakit, sakit sekali. Aku kemudian pergi meninggalkan tempat itu, tanpa diketahui olehmu. Aku kembali ke rumah, merenungi, mereka kembali peristiwa tadi.

Dan di malam itu, setelah beberapa saat aku menyelesaikan mandi. Kau datang, aku melihatmu, menatapmu, segera saja pertanyaan itu datang, meminta penjelasanmu, penjelasan yang sejelas-jelasnya, tentang hubungan, tentang komitmen. Tapi kau mulai mengataiku, mengumpatiku, terlebih kata-kata itu, bahwa kau ini bukan lelaki bukan pula perempuan. Aku menangis, tersedu, hatiku memendam nyeri yang kau torehkan, kau pun pergi membanting pintu dan pintu itu terbuka dengan lebar, di luar gelap. Tapi tak apa, kau mungkin mulai menganggapku tak ada. Tapi aku tetap menyayangimu, dalam getir ini.


Bandar Lampung, 2006
Bocah Tengil

Suatu ketika, bulan enggan berkencan karena langit sudah runtuh menjatuhi setiap kegelisahan orang orang. Dan bocah tengil yang selalu membuat onar pun berhenti membuat onar, karena telah disuruh menetek lagi seperti bayi oleh janda genit yang selalu menonton sepak terjang dan aksi tengilnya. Bahkan sering menggoda setiap perawan kampung yang lewat didepan pos ronda yang kegunaannya pada tiap malam menjadi tempat main gaple berduit.

Perawan kampung yang lewat digodanya, bahkan kalau sempat tangan jailnya berusaha meraba raba setiap di kesempatan, tapi dengan kesigapan perawan perawan itu, selalu saja niatnya gagal dan akhirnya bocah tengil itu gigit jari, dan merencanakan aksi tengil lainnya.

Pada saat yang tepat atau bahkan mungkin tidak terlalu tepat, datanglah janda muda yang genit, maklum baru saja beberapa purnama ditinggal suaminya pergi TKW ke luar negeri, karena mendengar setibanya di luar negeri itu suaminya langsung berselingkuh. Maka si istri yang sebelumnya tidak menjanda jadi merah padam tubuhnya seperti disiram air panas campur air dingin segantang banyaknya.

Wanita itu berusaha melupakan suanminya yang baru beberapa bulan dikawininya, bahkan pertemuannya dengan bakal suaminya itu, hanya karena ketemu di pasar malam, kemudian mereka saling pandang. Dan laki laki itu dengan jantannya mendekati perawanan yang pada saat ini sudah menjadi janda, dengan senjata rayuan puitis yang sudah berkarat karena sudah banyak digunakan untuk merayu perempuan dan hanya itu itu saja, tidak ada pergantian kreativitas yang selalu dikepalanya. Dan wanita itu hanya mesem mesem saja kemudian berjalan dengan manjanya, jalan kucing.

Kaki kaki belalangnya melangkah kian tak menentu setiap mendengar puisi basi itu, bahkan nada nada sebenarnya seperti sebuah birahi yang tersembunyi dan terpendam, sebetulnya itu, hanya karena pembawaan yang meyakinkan dan terlalu percaya diri maka wanita itu lama lama akhirnya menyukai orangnya, bukan karena faktor puisinya, tapi karena orangnya yang merasakan percaya diri abis.

Hingga akhirnya beberapa hari setelah kenalan itu mereka pun menikah. Karena tak habis pikir, orang tuanya langsung memberikan dan merestuinya, Karena toh sudah dianggap cukup umur dan dewasa, maklum baru saja tamat SMP, dianggap sudah dewasa, dan tidak perlu disekolahkan ke SMU, karena biayanya sangat mahal, dan pada akhirnya ke dapur dapur juga ujung ujungnya. Maka dikawinkanlah mereka dengan restu dari kedua orang tua mempelai.

Malam pertama adalah suatu yang menjadi dambaan pria puitis basi itu karena sudah banyak pelajaran yang ia lahap, mulai baca baca buku stensilan yang di jual di pinggir jalan dengan cover cover seronok dan judulnya yang kacangan, ditambah lagi dengan pesatnya dunia compact disc bajakan, maka makin mudahlah untuk mengakses pelajaran malam pertama itu, dan bahkan tidak diketahui oleh siapapun ternyata pria itu sudah tiga kali menyetubuhi perawan dengan rayuan sialan, dasar bangsat.

Sebenarnya apa yang diharapkan pemuda itu, dia hanyalah seorang penganggur, namun janganlah salah, dandanannya itu selangit, manager mananpun kalah kerennya, dan semua tampaknya tertipu oleh penampilannya. Apakah dia memang penipu ulung, banyak yang tak menyadarinya dan terjerat oleh rayuan gembelnya.

Padahal laki laki itu tampangya hanyalah pas pasan, katanya sih setelah ditusukkan susuk di debuah kota yang memang dari kota ini adalah luar kota, disana ditempelkanlah susuk yang sangat mujarab, di keningnya supaya memancarkan cahaya cahaya kegantengan muka pas pasannya, dan satu lagi, satu lagi, orang orang sudah lupa cerita jelasnya, pokoknya katanya bisa tahan berlama lama dalam hal bobok bobok, katanya sih, tapi pria itu pun pernah mencoba khasiatnya, iya ,itu setelah memasang susuk di dua bagian tubuhnya yang dianggapnya seksi dan representatif, dia langsung mencoba keampuhannya.

Anak Pak Lurah yang cantik tapi giginya tonggos dan perutnya agak buncit karena banyak makan langsung kesengsem, pria itu pun tak menyia nyiakan kesempatan, setelah memberikan puisi puisi yang keluar dari segenap birahinya maka korban pertama telah menjadi tepat sasarannya. Dan anaknya pak lurah pun tak berani cerita pada siapa siapa, karena takut didatangi lagi dan diajak berbuat aneh aneh oleh si pria itu.

Memang pria yang aneh, kemudian korban keduanya adalah wanita usia tiga puluh lima tahunan, tinggal di depan rumahnya, dimana suaminya agak tua, dan seringlah istrinya itu ditinggal tinggal, katanya sih rapat penting dengan relasi bisnis. Hingga pria itupun mulailah mendekati dengan melancarkan serangan, mendekati dengan intensifnya, hingga pada suatu malam yang hujan itu besar dan membuat suasana dingin, tidak ada seorangpun yang keluar malam itu, karena memang hujan menghambat pergerakan orang orang untuk keluar malam malam.

Tapi tidak bagi pria itu, dia mendatangi rumah tetangganya, karena memang sudah dianggap biasa bertamu, suami si istripun tidak ada di rumah pula, dan pada saat itulah lelaki itu langsung menggerayangi dan melampiaskan nafsunya setelah berbulan bulan ditahanya hasrat itu, namun wanita itu juga senang akan kelakuan tetangganya itu meskipun pada awalnya merasa kaget dan agak terpaksa, karena pada awalnya dia menjerit jerit pada saat kejadian pertama kali itu dan tak ada seorang pun yang mendengar, maka kemudian hal itu terjadi bahkan secara sukarela, dan setelah malam itu sering juga di panggil dari depan rumah wanita itu dan beberapa kali melakukannya, di waktu siang, kadang malam malam, hingga akhirnya si lelaki bosan, mengselingkuhi istri orang.

Korban ketiga tidak pernah terdeteksi, namun pada pokoknya membuat dia tersadar dan sesegera mungkin menikah, karena perbuatannya itu dirasanya tidak baik, apalagi setelah mendengar ceramah ceramanh disamping rumahnya yang memang tidak terlalu jauh, yang pada kenyataannya biasanya dianggap angin lalu, namun mungkin karena sudah beberapa tahun mendengar, dan ada juga pengaruhnya. Setelah korban ketiga itu, penjahat kelamin itu akhirnya insaf dan ingin menikah dengan wanita secara baik baik.
Diapun bersumpah akan pergi ke tempat keramaian dan akan mencari jodohnya di situ, siapa pun wanita yang lewat dan dianggapnya melirik padanya, maka itulah jodohnya. Hingga wanita itu, yang baru lulus Sekolah Menengah Pertama dan sebetulnya wanita itu pertama kali melirik karena melihat ada boneka anjing anjingan yang lucu digantung gantung, kebetulan lelaki itu berdiri de depannya dan terjadilah kejadian itu.

Memang ketika awal awal perkawinan adalah hari hari yang bahagia dan waktu waktu dihabiskan berdiam saja di kamar. Di kamarlah waktu waktu yang bergulir dan berubah itu dilalui, tak terasa beberapa hari telah berlalu. Dan lelaki itu tersadar ketika sarapan pagi yang disuguhkan oleh mertua pria itu, diapun berpikir bahwa harus mendapatkan pekerjaan yang menghasilkan banyak uang.

Kemudian diapun teringat pada keponakannya yang padahal usianya itu lebih tua darinya, seorang penyalur tenaga Tenaga Kerja Illegal, yang sudah banyak korbannya tidak diberangkat berangkatkan ke luar negeri. Hingga dengan terpaksa setelah dia tabungkan uang dari para calon tenaga kerja illegal itu berbunga barulah ia berangkatkan, dan kalaupun ada yang tidak jadi berangkat dia pun mengijinkan dan uangnya tidak kembali, dia menghitungnya sebagai biaya makan, transportasi, akomodasi dan lain sebagainya.

Namun tentunya untuk saudara yang memang tidak terlalu jauh juga tidak terlalu dekat, pasti segala urusan lancar, terbukti dengan tanpa daftar pun bisa diberangkatkan keluar negeri. Dan jadilah kerja di luar negeri, belum beberapa hari penyakit birahinya kambuh, dan dia pun mulai nguber nguber cewek bangkok dan bohai disana, dan dia pun selalu menelpon dan berkonsultasi pada ponakannya itu, karena mendengar berita begitu, ponakan itu langsung terbersit niatnya untuk memisahkan pamanya dengan bibinya itu, karena kepincut dengan bibinya.

Lalu dia menyusun rencana secara perlahan lahan, diberitahukannyalah peristiwa itu ke bibinya dan langsung saja bibinya percaya, karena memang gayanya yang meyakinkan, dan kepergian suaminya itu oleh ponakannya difitnahkan sebagai alasan untuk meninggalkan bibinya itu. Dan malang nasib perkawinan mereka, kandas karena jarak yang memisahkan dan nafsu dari sang suami yang tak terbendung, akibat pemberitaan dari ponakan jahanam itu. Kemudian pada suatu hari di siang bolong setelah beberapa jam dikeluarkannya surat cerai dari pengadilan, si ponakan dengan cengkraman kuat membekam dan menindih bibinya itu, segera setelah itu hujan deras air mata keluar dari segala penjuru.

Setelah kejadian itu selama dua purnama wanita itu bersedih, karena kehormatannya direnggut secara paksa, serasa dikencingi anjing sialan di saat yang tidak direncanakan dan dinanti nanti. Dia meratapi nasibnya selama itu, namun setelah dua purnama bersedih, dia bangkit dari kesedihannya. Dan dia menetukan pilihan pada hari esoknya, kepada bocah itu, bocah tengil, setelah digoda seharian di depan pos ronda.

Sebetulnya bocah tengil itu adalah adik kelasnya yang selau ngintil ngintil ketika mereka masih satu sekolah. Karena masih bocah ingusan, diapun merasa suka, lalu diikutinya wanita itu kemanapun dia suka, bahkan ketika ke wc bocah itu mengikuti dan kemudian terjadi keributan di wc wanita, naas sekali bocah itu dilempari air comberan dengan pengusiran dan ditambah lagi dengan mulut mulut cerewet menggerutu. Bocah itu tertunduk lesu.

Hingga akhirnya bocah tengil itu putus asa dan merasa tiada guna hidup lagi, ditambah lagi oleh orang tuanya tidak diberi uang untuk membeli buku di sekolah, tambah pula kebimbangan dalam hatinya, namun dengan tekad baja dan kekuatan dirinya, bocah itupun tidaklah redup aura hidupnya setelah melihat dangdutan di pesta kawinan kampung tetangga, setelah menari dan memberi sawer biduan andalan dari grup dangdutan itu.
Cerita Palsu

Duduk dengan menghisap sebatang rokok, di sebuah warung kopi yang tidak terlalu ramai, maklum jam begini biasanya orang – orang sedang bekerja. Aku seorang penganggur yang tidak tahan akan kepalsuan dunia ini. Memang pada jam begini kebiasaan yang selalu dilakukan hampir tiap hari menyalakan sebatang rokok dan menyeruput sedikit demi sedikit kopi hangat yang hitam dan pekat dengan tidak terlalu banyak gula.

Di depan warung pun jarang sekali kendaraan hilir mudik, tetapi sesudah jam pulang kerja ramai sekali kendaraan hilir mudik dan orang – orang pun mulai banyak yang berlalu – lalang. Aku hanya sendirian adanya di warung ini, eh …. Tidak, si Yati penjaga warung ini tentunya bisa disebut juga menemani, jadi kita hanya berdua, lama sekali aku menatap ke arah ijem itu karena dia memang menarik.

Namun ijem, gadis belia yang bernata sipit dan berkulit kuning langsat itu hanya diam dan termangu karena belum kunjung tiba pelanggan – pelanggan yang biasanya menyempatkan mampir di warungnya untuk sekedar menyeruput kopi dan bersenda gurau dengan mimik – mimik muka palsu itu.

Tiba – tiba datang seorang pria paruh baya dengan pakaian lusuh memasuki warung ini, kemudian memesan segelas kopi susu dan sebatang rokok, si Yati pun serta merta dengan gembira melayani pesanan dari pria paruh baya itu.

Pria paruh baya itu menatapku dan melemparkan senyum kepadaku, aku pun membalas dengan senyuman palsu, karena senyuman tak tulus ini akibat dari rasa miris dengan keadaannya yang lusuh itu. Pria paruh baya itu memulai pembicaraan, “Aku tahu senyum yang kau sunggingkan itu palsu adanya, maukah kau mendengar sebuah cerita tentang kepalsuan?”

Aku tidak menjawab, namun pria paruh baya itu mulai bercerita tanpa mau menunggu jawaban dariku, mau atau tidaknya mendengar cerita dia ini. Dan dia pun memulai ceritanya.

Ketika malam tiba, cahaya – cahaya palsu mulai menyinari hamparan jalan yang pembangunannya penuh kepalsuan. Aku pun berada di sebuah café yang pelayanannya menawarkan jasa – jasa palsu, aku bersama seorang perempuan yang menaruh cinta palsu dalam hatinya begitu pula dalam ucapan, aku pun menatap dengan tatapan palsu, dan kata – kata roman picisan yang keluar dari bibir ini hampir semua palsu.

Jemarinya pun kuremas dengan penuh kasih palsu, rambutnya kubelai dengan belaian palsu, cumbuan dan rayuannya pun semua palsu. Kemudian kami berjalan menyusuri lorong, jalan, jembatan palsu di kota palsu ini, dengan langkah gontai namun sarat ayunan langkah palsu, sambil bercerita kisah – kisah palsu yang duah biasa dipalsukan oleh para pendongeng – pendongeng sebelumnya, ada juga pengalaman – pengalaman palsu yang dikemas dan diceritakan dengan meyakinkan.

Sebetulnya, aku dilahirkan dari keadaan palsu, kemudian dibesarkan oleh norma – norma palsu dan dalam pergaulan pun etika – etika palsu menjadi pedoman. Begitupun ketika bersekolah, aku diajarkan oleh pemikiran – pemikiran palsu, senyuman – senyuman palsu antara pendidik dan didikan sehingga yang ada ijazah pun palsu.

“Cukup Pak! sudahi saja, cerita itu tidak logis dan terlalu bernafsu, seakan menaifkan diri sendiri dengan lingkungan yang dikenal.”

Aku menyela cerita pria paruh baya itu, tanpa sadar aku mengikuti setiap alur yang diceritakan pria itu dan terbawa arus. Kemudian pria paruh baya itu tidak melanjutkan ceritanya, padahal aku menunggu sanggahan atau kelanjutan cerita yang akan dilontarkan dari mulutnya. Tapi sudahlah, saatnya aku pergi meninggalkan warung ini, karena aku harus melakukan sesuatu.

Setelah membayar uang pada si Ijem kemudian aku pergi meninggalkan warung itu, meninggalkan sebuah cerita tentang kealsuan seorang pria paruh baya yang tak dikenal, dengan pakaian lusuhnya.

***
Ketika langit langit terbuka sinarnya serta pancarannya menelusuri kamar sempit ini, di ruang ini tempat masuk sinar itu hanya sedikit, tapi langsung mengenai wajahku. Aku kemudian tersadarkan, kembali lagi pada realitas setelah hanya empat jam dalam genggaman sang dewi mimpi, setelah terjadi perdebatan semalam dengan sebuah topik yang tak jelas juntrungannya dan selalu saja diperdebatkan. Dengan seorang teman yang nyentrik dalam menuangkan ide dan gagasan yang konyol, menurutku tolol, tapi begitu dihormati di tempat aktifitasnya dan memang dianggap sangat brilian.

Wajar saja, karena kenikmatan tersendiri terjadi tatkala persilangan pendapat mulai memuncak dan saling beradu argumen, tentunya dengan saling menyertakan pendapat ahli untuk memperkuat, dan kekuatan argumen dengan nada yang meyakinkan.

Tapi aku tak tahu nama jelasnya, dan dia pun tak tahu namaku sejelas jelasnya. Kami bertemu hanya saling mengucapkan “hai”, menegur dengan mengatakan “kamu” “aku”. Tak pernah mau untuk bertanya siapa dia atau aku, dari mana asalku dan asalnya, kami rasa tidak perlu memang, meski sudah lama saling mengenal. Yang penting saling percaya dan merasa cocok.

***

Keraguan itu selalu hadir, terlebih lagi ketika hendak memilih, membuatku bingung. Buku mana yang sekiranya akan kupilih yang dapat mengungkapkan pencerahan dalam berpikirku, lama sekali, hingga satpam di toko buku ini memperhatikanku, dan berputar putar disekeliling, mungkin curiga. Tapi, peduli amat, yang penting aku harus mencari buku yang akan memberikan pencerahan. Demikian bosannya selalu membaca buku – buku yang bernadakan mengatasi pengangguran, karena sama saja yang dibahas di balai pelatihan kerja dan dibaca dibuku, nyaris sama. Terlebih lagi kalau yang mengajar hanya dengan membaca buku, apakah tak ada pemikiran lain yang bisa disajikan?

“Coba bacalah buku ini kawan” seorang pria yang sebaya denganku berkata dengan nada dan mimik bersahabat, namun membuatku terkagetkan.
“Buku apa itu, tentang apa?”
“Bacalah, dan renungkan maknanya dalam-dalam kawan. Oh iya, perkenalkan, namaku ….., ah tak usahlah, tak penting”
“Mungkin aku akan membeli dan membacanya”

Kemudian tanpa saling berpamitan langsung saja pergi tanpa meningglkan kesan apa apa, hanyut seperti angin yang bertiup dan tak berbekas, larut seperti kenangan – kenangan yang selintas dan terlupakan dengan mudahnya.

Hari berlalu dengan rutinitas keseharian yang membosankan.

***
Temanku itu datang lagi ke tempat ini, datang dengan membuat kaget. Seperti biasa dia membuat kopi dua, satu untukku dan satu untuknya, karena dia sudah sering dan menjadi kebiasaan apabila bertamu kesini. Setelah itu, pembicaraan pun dimulai dengan menuangkan gagasan – gagasan gila, tapi aku sedang tidak siap hari ini, maka kukatakan,

“Sudah – sudahlah kawan, kita bicara masalah lain saja”.

Dalam sekejap kuakhiri hasratnya untuk berdiskusi, tidak enak juga perasaan ini padanya, tapi karena kelelahan tersendiri. Bukan karena aku sengaja disebabkan bosan dengan ide – idenya.

Namun, rupanya dia agak keheranan, tidak biasanya, tak bisa lagi pembicaraan selain diskusi – diskusi gila. Dengan nafas agak berat diapun berkata “aku tak pernah mempunyai nama dan tak ingat kapan dilahirkan” dalam sekejap itu juga keadaan menjadi hening.



_________________
Beja Kabayan, Komunitas Rumasa, Maret 2004
Hening dan Senyap

Bayangan berkelebat, berkeliaran kesana kemari, senyumnya licik. Derap langkah tak terdengar namun jelas, sosoknya menggumpal dalam lembaran kelam. Bayangan menghentakan langkahnya ketika dalam juluran kegelepan. Hembusan yang menegakan kuduk tak lagi di tepis, karena bayangan itu membayang-bayangi. Ketika berbayang-bayang pun samar terlihat dan mengikuti, namun tak senada, perolehan yang tertumpah terpencar dan menyusur pelan-pelan, tapi munghkin dan pasti. Remang dalam ruang yang terhampar benih-benih kelam, dan temaram menyesatkan jejaknya untuk diikuti.

Kemudian, tak ada apa apa lagi disini dan tak ada yang bisa diharapkan. Makanan yang biasa kita makan raib, entah kemana. Kasih kasih yang dikisahkan pun ikut menghilang seperti uap embun yang melayang ke udara dan menjelma menjadi tak tampak.

Semua tak heran akan keadaan ini, karena telah diramalkan oleh para peramal yang dengan muka bersihnya namun lantang bahwa peristiwa ini akan terjadi. Dan kemudian telah dibukukan dalam kitab kitab yang sengaja untuk dipublikasiakan.

Tapi ketika itu, teman yang selalu menemani menjadi teman teman yang tak menemani. Belaian yang pernah disematkan dan mengurai rambut ini menjadi terlupakan dan semakin terlupakan dengan lajunya waktu. Kemudian bayangan itu selalu mengikuti kemanapun aku pergi, mengikuti dan mengikuti, dalam dan tak terhingga, sedalam lautan yang tak bertepi di tengah karang karang gelap dasarnya.

Dahulu, bayangan itu selalu bermuka manis dan penurut. Selalu mengikuti apa yang kami kerjakan, mereka mengikuti dengan persis gerakan demi gerakan. Dan, ketika itu bayangan bayangan itu mulai kebosanan, kemudian memiliki nyali sendiri untuk membangkang. Hingga perubahan itu tak terjadi secara drastis, bayangan bayangan itu mulai dengan mengikuti gerakan tapi menjadi lambat, tidak seirama dan sama persis, kemudian hari demi hari, tahun demi tahun, waktu demi waktu, bayangan bayangan itu mulai menunjukkan perubahan dan perilaku mereka pun berubah, menjadi tidak bersahabat.

Aku bergegas untuk melarikan tubuh ini dari bayangan yang menggentayangi, namun tak ada kawan yang menolong karena mereka sendiri terbujur, terkapar oleh pesona redupan bayangan bayangan itu. Sehingga, luapan emosi yang selalu disumbarkan ini tak berarti apa apa. Perlawanan yang diarahkan kepada bayangan itu selalu berakhir dengan kegagalan diri sendiri.

Makin dan semakin kebingungan, mengapa bayangan ini terus melekat. Semakin dalam menyelami kegamangan ini, kemudian tampak dan muncul lagi bayangan lainnya. Bayangan yang mengikuti ini bertambah dan menjadi dua, kemudian mereka menertawakan dan mengejekku, kadang kadang mereka berbisik di hadapanku sambil menyunggingkan senyum tanpa makna, sinis, dan berkata “aku telah hidup dan berpikir”

Akhirnya genderang perang kutabuhkan, senjata senjata pemusnah disiapkan. Aku siap untuk menumpasi bayangan itu, semakin tidak bisa diatur karena mereka mempunyai nyawa sendiri. Perlahan namun pasti, dipersiapkan dengan matang, strategi strategi cerdik dan tidak memandang rasa. Dengan menghalakan segala cara tentunya.

Bom bom dijatuhkan sehinggga membuat banyak kerusakan, senjata senjata diacungkan kemudian dibidikkan tepat sasaran seperti sniper yang ahli dalam menembak jitu, namun masih saja tidak tepat sasarn, melenceng. Malahan banyak yang terkena tembakan tidak sengaja, banyak orang menjadi mati konyol, tapi tidak ada kata maaf karena ketidak sengajaan ini, seakan berlalu adanya dan tak dipirkan lagi.

Hancur semua dan banyak yang musnah, juga orang orang yang tertembak tak dapat dikenali lagi satu persatu karena saking terlalu banyaknya yang bergelimpangan dan berserakan dimana mana, namun bayangan itu masih saja menampakkan dirinya dan semakin tertawa dengan lepas dengan ejekan semakin menjadi jadi. Hingga akhirnya, aku terpaksa berlari.

Aku berlari tak menoleh lagi ke belakang, apapun yang tertinggal biarkanlah, tak mengapa, karena aku terus berlari menghindari bayangan itu. Aku tak peduli apapun di depan, terus kuhadang, namun jalan lapang dan bersahabat yang kucari dalam pelarian ini. Ini bukanlah pelarian dimana seperti pengecut yang tak bisa menyelesaikan sesuatu kemudian lari untuk menghindari itu. Ini juga bukan lari seperti atlit yang berusaha untuk menjadi juara dengan slogan slogan sportifitas yang mereka junjung tinggi. Tapi pelarian ini juga bukan pelarian tanpa sebab yang tak kunjung arah rimbanya itu.

Kemudian aku teringat sesuatu, sebuah kitab kegelapan, dalam kitab kegelapan itu menyatakan semesta ini awalnya gelap tak berwarna lain kemudian ada terang. Ya, itu dia, aku akan menuju kegelapan, tempat hitam, kegelapanlah yang aku cari. Seperti pernah diajarkan padaku oleh guru yang mengajarkan kitab kegelapan dimasa kecilku dulu. Karena terang inilah bayangan itu menampakkan wujudnya.

Aku menuju tempat tergelap di kota ini, sangat jauh sekali setalah beberapa kali melewati puing puing dan reruntuhan kota yang tak dapat dikenali lagi dan tak tampak pula keindahannya seperti dulu karena memang telah musnah akibat serangan yang dilancarkan pada bayangan itu. Disinalah akhirnya, tempat tergelap yang tidak tersentuh oleh cahaya, dan memang bayangan itu perlahan menghilang seiring dengan tak adanya cahaya.

Hening dan senyap ketika bayangan bayangan yang selalu menyertai itu menghilang, dan raib tanpa meninggalkan sedikitpun pesan. Setelah sekian lamanya waktu bergulir, ada semacam kerinduan, umtuk mencandai dan ke dalam ingatan dimana bayangan itu mulai berada dengan wajah manisnya, menuruti setiap gerakan yang dilakukan dan tampak seirama. Apalagi ketika menari, seperti dahulu ketika menari dengan gelak tawa dan keriangan terlukiskan diwajahku dan teman teman. Bayangan itu itu ikut menari dan tampak gembira seperti halnya kami.

Dan waktu berjalan dengan iringan detikan yang berirama teratur, tiba tiba cahaya masuk ke tempat paling gelap ini, hingga akhirnya bayangan itu datang lagi, dengan membawa semakin banyak teman teman yang lainnya, tapi kini lebih menyeramkan. Tak seorangpun dapat menolongku kali ini. Dengan lirih aku berkata
“bebaskan aku”

Sunday, October 01, 2006

Merenda Perjalanan

Terbaring, tak terjaga, menatap dengan tatapan, tatapan, tatapan.
Gamang dengung rindu sahaja kelabu menjalin renda dimana dan mana.
Meliuk liuk menarik asa di keremangan. Malam, siang, pergantian
waktu.

Pergantian waktu?
Kemanakah gerangan pikiran?

Pergantian waktu selalu saja terlupakan, kategori dan nalar tak
pernah menyoalkan pergantian waktu, antara siang dan malam, antara
siang dan pagi, antara gelap dan terang, sebuah ruang yang remang dan
redup, menuju sebuah cahaya atau menuju kegelapan. Sebuah ruang
antara dan tak terjangkau ataukah memang kita berada diantara itu.

Antara kamu antara aku antara kita, sebuah ruang yang memisahkan
jarak. Jarak yang jauh dan dekat, sebuah jarak antara, dekat atau
jauh, antara, antara. Antara laki laki dan perempuan, adakah antara
laki laki perempuan. Laki laki berjiwa perempuan terjebak di ruang
antara. Perempuan berjiwa laki laki terjebak diantara ruang antara.
Antara laki laki dan perempuan, terjebak di dalam antara.

Anak anak menuju dewasa, dewasa menuju kekanak kanakan, dimana ruang
antara anak anak dan kedewasaan, anak anak dalam kepolosan namun
terkontaminasi oleh otoritarian parental sehingga pemberontakan nalar
bawah sadar menuju kedewasaan, sementara dewasa berdegradasi menuju
impian kanak kanak dikarenakan kepenatan dan kejemuan oleh keseharian
yang telah memenjara dan terkungkung oleh waktu dan ruang.

Dibesarkan dengan keadaan, dan berlanjut dengan keinginan keinginan
menjadi orang lain, disuruh menjadi orang lain atau merupakan hibrida
dari tekanan untuk menjadi yang orang tua inginkan.

Aku pernah bertemu dengan sebuah jiwa yang tak pernah merana, padahal
aku sangat rapuh dan tidak percaya akan adanya ada. Tak terduga
putaran mengenai kesembaban diacungkan ke sekitar kesempitan yang
pernah ditanam namun selalu saja semua ragu, ragu di dalam adanya
ada. Tawa tak sempat terselip di dalam setiap bibir yang indah itu,
selalu dan memang tapi tidak pernah terjadi. Semua kebingungan tapi
tidak pada kegalauan mendera.

Mendaki terjal sebuah dunia yang tak bersahabat, dimana tak pernah
rindu akan kebersamaan yang selaras. Tinggi dan semakin sesak dalam
hirupan tiap hisap pertama, kedua, dan tersungkur pada detik detik
hisapan ketiga. Mata yang jalang dan menerawang terselip nakal binal
mendera, hanya ada tatapan yang tak kuasa menahan beratnya kedipan.
Selalu saja ada terselip tanya dan tawa ketika pertanyaan itu datang,
hingga akhirnya aku harus berjalan, berjalan sendiri. Berjalan
menyusuri susuran susuran.

Aku berjalan dengan, dengan diri sendiri menikmati tiap ayunan
langkah yang terayun sedikit demi sedikit, terayun kaki kiri,
kemudian diayunkan kaki kanan hingga membuat berjalan perlahan.
Perlahan namun berjalan, jalan, dan jalan, sungguh menikmati sehingga
orang yang berlalu dari kiri dan kanan, depan belakang tak pernah
kuperhatikan. Peduli amat, aku menikmati tiap ayunan langkahku.

Mentari terik, awan biru sebiru laut, pantulan dari angkasa. Aku
berjalan mengikuti jalan, belok ke kiri dan belok ke kanan, kemudian
lurus, belok ke kanan dan belok ke kiri kemudian berjalan di arah
kiri, berjalan lurus dan lurus. Terdengar swing, swing, swing, swing,
swing, mobil, motor menderu deru dan berjalan, asapnya mengeluarkan
gas yang membuat batuk, ugh, tapi peduli amat.

Padahal juga disekeliling terdapat bangunan besar besar mengeluarkan
asap terbal, tebal sekali pekat dan hitam, orang yang menghirupnya
pasti akan pingsan, mati keracunan. Sementara air air yang
dikeluarkan dari bangunan besar itu berwarna hitam dan baunya sangat
menusuk tajam, gimana orang yang mandi disana, pasti kulitnya bisa
berubah, mengerikan sekali.

Hei, mobil mobil berlalu lalang, tapi kenapa mobil itu diam disana.
Tapi bodo amat, kali ini ada sedikit perhatian, kenapa mobil mematung
disitu, tapi ada sedikit goyangan, goyangan. Kuhampiri dekat dan
mendekat, terdengar desahan. Suara apa? Manusia, mendekat dan lebih
dekat lagi, ah, pria dan wanita sedang tumpang tindih, kobel dan
dikobel, memasukkan dan dimasukkan, tarik menarik, tancap ditancap
dan menancap, dalam sebuah gerakan yang teratur, desah dan mendesah
terdengar suaranya, gila, panas terik begini, dasar, si wanita
melirik ke arahku, kemudian mengedipkan matanya padaku dengan
manjanya, gila, dasar gila, dengan segera kutinggalkan mobil yang
mematung di tepi jalan ini.

Aku semakin tak peduli dalam pandangan untuk melihat apa apa yang
mematung dan berlalu lalang di sepanjang jalanan ini. Tapi terlihat
anak anak kecil umur enam tahunan, bergerombol dan menghampiri mobil
yang berparkir tadi, mereka menonton dan keasyikan, waduh, anak anak
sudah menonton pertunjukan seks, langsung lagi, ah, bodo amat.

Warung kopi, aku ingin, minum disana, sepertinya enak sekali. Aku
mencoba untuk mampir. Memesan kopi, masih panas, kutunggu hingga
dalam hirupan tidak membuat kelu lidah. Disana sini terdengar orang
orang yang menyeruput kopi berdesas desus, tentang artis selingkuh
kemudian yang bugil dan mesum, aih kayak nggak ada kerjaan lain aja,
kemudian disebelah juga ada percakapan, sepertinya lebih berbobot,
biasa tentang politik, dasyat, ngalor ngidul, namun dengan pemaparan
bahasa langit yang terdengar dan terkesan ilmiah, padahal kalau
diartikan ucapan yang biasa kita ucapkan, aih ada ada saja, sebuah
prestise kali, dengan jelas terdengar pria botak itu berkata kata
hingga aku bosan mendengarnya, lebih baik kuhabiskan minuman kopi ini
dan hengkang dari sini.

Tiba tiba saja ketika kutinggalkan warung itu, penjual koran
menawarkan koran dengan diasong asongkannya padaku, ada rasa tertarik
juga untuk membelinya dan kasihan juga penjual koran itu anak kecil.
Huh, kecil kecil sudah bekerja dan menghidupi diri sendiri, iba
sekali, apakah tidak ada yang peduli untuk memberikan fasilitas
pendidikan pada anak anak, dan diakhiri hanya dijalanan, dan
penjualan koran sebagai penopang hidup. Aku membeli satu, dengan
harga sekitar dua ribu lima ratus rupiah, sambil berjalan kubaca
baca, tapi paling menarik pada rubrik tentang analisa seksualitas,
segera saja kubaca, buat pengalaman.

Hingga setelah habis kubaca, hanya ada satu kata, Gila! Tulisan apa
itu? Nggak ngerti ah, bahasanya ketinggian atau sengaja dianeh
anehkan, membacanya saja membuat orang awam seperti ini nggak ngerti,
gak jelas, kemudian koran kulipat dan kukempit di ketiak, dan aku
melanjutkan perjalanan, berjalan dan berjalan.

Perjalanan masih jauh, letih sekali, tapi kenapa orang itu
membuntutiku terus menerus, pakaiannya compang camping, tatapannya,
tatapannya menegrikan dengan dua bola mata berwarna merah, mendelik
dan menatap terus kearahku. Tiba tiba saja berlari kearahku,
menerjang, hingga aku dan dia roboh, berguling guling. Lalu dia
berdiri dengan tegap menghentakkan kakinya, kemudian melangkahkan
satu kakinya tangannya, tangannya menunjuk kearahku, kemudian mulai
berkata kata, ya, berkata kepadaku.

Kemudian orang itu pergi begitu saja, meninggalkanku, kenal aja
nggak. Akhirnya aku mencoba berdiri, lecet dan perih rasanya, dasar
orang aneh.

Aku berjalan dan berjalan, tiba di sebuah persimpangan, persimpangan?
Bukankah jalan mana yang akan kutempuh, sebuah persimpangan yang ada
empat jalannya. Terlalu banyak jalan, membingungkan. Mengherankan
kenapa harus ada banyak jalan, padahal arah tujuannya ke situ situ
juga, aku harus jalan kemana. Kalau aku berpikir terus aku tak akan
jalan jalan lagi, kemanakah harus melangkah. Sementara apakah harus
mematung disini karena bingung memilih jalan. Ah, biar saja, aku diam
di persimpangan jalan ini, tidak jalan lurus, tidak jalan kiri, tidak
jalan kanan, tidak pula jalan di tengah, bodo amat.






_________________________
SASTRA-PEMBEBASAN, wacana sukasamasuka sastrakitakita
Tue, 07 Mar 2006
Penyanyi Kebebasan

Lakukanlah lagi, serangkaian nyayian yang biasa kau nyanyikan di atas
bukit hingga suara suaramu menggema ke seluruh lembah ini. Aku tahu,
kau memang berbakat, maka bernyayilah lagi tak usah ragu. Ketika kau
bernyayi sembunyi sembunyi karena tak ingin ayahmu tahu, aku yang
pertama tahu dan mendukungmu. Ayahmu memang tak ingin kamu maju,
patut disayangkan memang. Juga ketika ibumu hanya diam berpangku
tangan ketika kau menyanyi, tak peduli, biarkanlah, anggap saja angin
yang menerpa dan beralu begitu saja. Maka tak usah kau pedulikan
semua itu, tetaplah menyanyi.

Gejolak dan kontradiksi itu simpanlah di dadamu, tapi biarkan dirimu
menyanyi seperti kicau camar, dan burung burung di pagi hari yang
senantiasa membangunkan kita tatkala kita telah lama memejam. Ketika
terdengar oleh tetanggamu jangan kau hiraukan mereka, mereka hanya
iri akan bakatmu ketika menyanyi, sungguh, suaramu merdu kok.

Janganlah kau bungkam dan hanya menyayi dalam hatimu, terasa sesak
dan terpendam dalam dalam di relung hatimu. Kamu jangan seperti itu.
Aku tahu kau mampu, lepaskan lagi suaramu itu hingga penjuru lembah
ini mendengarnya kembali, tak usah takut.

Aku tahu, memang pada hari kamis malam kau bernyanyi semalaman,
rembulan yang terang menjadi temanmu diatas bukit. Memang pada kamis
malam adalah hari yang tepat, dimana pasar pasar buka dan menjajakan
dagangannya untuk mereka, segala aktivitas dilakukan di lembah ini,
mereka bertransaksi, keasyikan dalam keseharian untuk menghidupi
kehidupan mereka.

Juga pada hari itu, para petinggi tengah berpesta pora dan mereka
meninggalkan kewajibannya untuk meminpin lembah ini. Mereka tak perlu
beristirahat, hanya untuk berpesta pora pada kamis malam. Masih pada
hari itu juga cawan cawan anggur dituangkan di sudut kota di lembah
ini, mereka bersenang senang dimana tak teringatkan akan waktu waktu
yang telah dilaluinya pada hari hari sebelumnya.

Kamis malam memang kuanggap istimewa bagimu, tapi di hari hari lain
kau tetap bernyanyi, apakah kamis malam kau memang
mengistimewakannya? kemudian kau berlari mendaki curam dan terjalnya
bukit. Tidak setiap hari, kamis malam itu kau lakukan pendakian untuk
menggemakan suaramu.

Aku tak mengerti mengapa kamis malam, padahal kau bernyanyi dan
melantun setiap hari, saat semua bertanya kepadamu mengapa kamis
malam, kau hanya tersenyum simpul tak memaknakan apa apa. Atau
mungkin itu hanya sebuah kebiasaan yang dibiasakan dan aku
menganggapnya sebuah hari yang istimewa, tentunya kau pun bisa
menggantinya di hari lain, semua memang terjabak dalam rutinitas dan
keseharian, kini aku tahu dan mengerti maksudmu itu.

Nyayianmu itu tidak seperti yang biasa oleh orang orang dinyayikan
dan dijual ditoko toko itu dengan harga mahal, kemudian diputar di
media media dan diberitakan. Juga diadakan penghargaan yang hanya
secuil nilainya itu. Nyayianmu adalah nyayian yang membebaskan kita
semua dari nyayian nyanyian picisan itu.

Masih ingatkah kau sebuah peristiwa ketika kita bersama bernyanyi
bersama para pemuda untuk meggulinggkan penguasa yang telah lama
berkuasa dan menyengsarakan kita semua, kau bernyanyi paling lantang
dan suara suara keberanianmu didengar oleh siapapun. Semua memasang
telinga pada suara naynyianmu, yang kau nyanyikan pada waktui itu
adalah suara keberanan dari hati nuranimu, juga hati nurani kita
semua yang telah penat akan gegap gempitanya kepalsuan yang
dipelihara.

Kemudian setelah itu kau menghilang dan kabar yang tersiar kau telah
diculik, tak ada kabar dalam beberapa hari. Kemudian semua orang
bertanya gerangan mengetuk ngetuk kembali pintu kekuasaan, kemudian
berkat usaha kita bersama kau diloloskan dari penculikan itu. Aku
sangat terharu ternyata kau dapat diselamatkan, tapi kau…..,
keadaanmu sangat mengenaskan, rupamu sudah tak karuan. Mungkin orang
yang terdekatpun tak akan mengenalimu lagi, tapi aku masih
mengenalimu. Meskipun kau dalam wujud tak karuan ini, aku masih
mengenalimu.

Namun tak ada lagi lantunan nyayian yang mengalun melewati rongga
rongga dan tersalur keluar dari mulutmu. Apa yang telah terjadi
kawan? kau tidak mau menyanyi lagi, sementara perubahan terus
berlangsung dan para pemuda kembali lagi pada kegiatan keseharian
mereka. Lagi lagi orang oranmg yang mengikuti arus kembali lagi
menduduki jabatan, mereka mengakui bahwa mereka juga telah melakukan
perubahan.

Tapi aku tak peduli, yang terpenting bagiku adalah kau kawan. Mengapa
kau tidak mau menyanyi lagi? Ketakutan yang kau kuatirkan itu akibat
dari penculikan dan penyekapan apakah masih menghantui jiwa dan
ragamu? Apa yang harus aku lakukan? Mungkin itu kenginginanmu apabila
telah terjadi perubahan.

Aku mulai tak peduli lagi ketika kau benar benar telah berhenti
bernyanyi. Tapi kemudian orang orang mulai mengikuti caramu, gayamu,
tapi kau tetap tak mempedulikan mereka. Sempat kau mengutarakan dalam
keheningan malam dimana semua tertidur dalam kelelapan "aku sudah
letih dan lelah"

Rebahlah dan istirahat, tapi kau jangan berhenti bernyanyi, tolong,
kau memang berbakat dalam menyanyi. Dan setelah kau menenangkan
pertentangan dalam jiwamu, naiklah keatas bukit dan suarakan
nyanyianmu kembali ke penjuru lembah ini. Dan pada saat itu, saat
yang dinanti nanti oleh aku dan semua orang, kau memang bernyanyi
suaramu melantun di lembah lembah, suaramu, ya aku ingat itu suaramu
menyanyikan suara kebenaran dan keberanian.

Namun ketika aku dan semuanya menghampirimu di atas bukit itu malam
mulai menampakkan kegelapannya, dan kaupun tak ada di bukit ini.
"Kemanakah dirimu wahai penyanyi kebebasan ?"

Bandar Lampung, 2004






_________________________
SASTRA-PEMBEBASAN, wacana sukasamasuka sastrakitakita
Tue, 07 Mar 2006