Wednesday, October 04, 2006

Cerita Palsu

Duduk dengan menghisap sebatang rokok, di sebuah warung kopi yang tidak terlalu ramai, maklum jam begini biasanya orang – orang sedang bekerja. Aku seorang penganggur yang tidak tahan akan kepalsuan dunia ini. Memang pada jam begini kebiasaan yang selalu dilakukan hampir tiap hari menyalakan sebatang rokok dan menyeruput sedikit demi sedikit kopi hangat yang hitam dan pekat dengan tidak terlalu banyak gula.

Di depan warung pun jarang sekali kendaraan hilir mudik, tetapi sesudah jam pulang kerja ramai sekali kendaraan hilir mudik dan orang – orang pun mulai banyak yang berlalu – lalang. Aku hanya sendirian adanya di warung ini, eh …. Tidak, si Yati penjaga warung ini tentunya bisa disebut juga menemani, jadi kita hanya berdua, lama sekali aku menatap ke arah ijem itu karena dia memang menarik.

Namun ijem, gadis belia yang bernata sipit dan berkulit kuning langsat itu hanya diam dan termangu karena belum kunjung tiba pelanggan – pelanggan yang biasanya menyempatkan mampir di warungnya untuk sekedar menyeruput kopi dan bersenda gurau dengan mimik – mimik muka palsu itu.

Tiba – tiba datang seorang pria paruh baya dengan pakaian lusuh memasuki warung ini, kemudian memesan segelas kopi susu dan sebatang rokok, si Yati pun serta merta dengan gembira melayani pesanan dari pria paruh baya itu.

Pria paruh baya itu menatapku dan melemparkan senyum kepadaku, aku pun membalas dengan senyuman palsu, karena senyuman tak tulus ini akibat dari rasa miris dengan keadaannya yang lusuh itu. Pria paruh baya itu memulai pembicaraan, “Aku tahu senyum yang kau sunggingkan itu palsu adanya, maukah kau mendengar sebuah cerita tentang kepalsuan?”

Aku tidak menjawab, namun pria paruh baya itu mulai bercerita tanpa mau menunggu jawaban dariku, mau atau tidaknya mendengar cerita dia ini. Dan dia pun memulai ceritanya.

Ketika malam tiba, cahaya – cahaya palsu mulai menyinari hamparan jalan yang pembangunannya penuh kepalsuan. Aku pun berada di sebuah café yang pelayanannya menawarkan jasa – jasa palsu, aku bersama seorang perempuan yang menaruh cinta palsu dalam hatinya begitu pula dalam ucapan, aku pun menatap dengan tatapan palsu, dan kata – kata roman picisan yang keluar dari bibir ini hampir semua palsu.

Jemarinya pun kuremas dengan penuh kasih palsu, rambutnya kubelai dengan belaian palsu, cumbuan dan rayuannya pun semua palsu. Kemudian kami berjalan menyusuri lorong, jalan, jembatan palsu di kota palsu ini, dengan langkah gontai namun sarat ayunan langkah palsu, sambil bercerita kisah – kisah palsu yang duah biasa dipalsukan oleh para pendongeng – pendongeng sebelumnya, ada juga pengalaman – pengalaman palsu yang dikemas dan diceritakan dengan meyakinkan.

Sebetulnya, aku dilahirkan dari keadaan palsu, kemudian dibesarkan oleh norma – norma palsu dan dalam pergaulan pun etika – etika palsu menjadi pedoman. Begitupun ketika bersekolah, aku diajarkan oleh pemikiran – pemikiran palsu, senyuman – senyuman palsu antara pendidik dan didikan sehingga yang ada ijazah pun palsu.

“Cukup Pak! sudahi saja, cerita itu tidak logis dan terlalu bernafsu, seakan menaifkan diri sendiri dengan lingkungan yang dikenal.”

Aku menyela cerita pria paruh baya itu, tanpa sadar aku mengikuti setiap alur yang diceritakan pria itu dan terbawa arus. Kemudian pria paruh baya itu tidak melanjutkan ceritanya, padahal aku menunggu sanggahan atau kelanjutan cerita yang akan dilontarkan dari mulutnya. Tapi sudahlah, saatnya aku pergi meninggalkan warung ini, karena aku harus melakukan sesuatu.

Setelah membayar uang pada si Ijem kemudian aku pergi meninggalkan warung itu, meninggalkan sebuah cerita tentang kealsuan seorang pria paruh baya yang tak dikenal, dengan pakaian lusuhnya.

***
Ketika langit langit terbuka sinarnya serta pancarannya menelusuri kamar sempit ini, di ruang ini tempat masuk sinar itu hanya sedikit, tapi langsung mengenai wajahku. Aku kemudian tersadarkan, kembali lagi pada realitas setelah hanya empat jam dalam genggaman sang dewi mimpi, setelah terjadi perdebatan semalam dengan sebuah topik yang tak jelas juntrungannya dan selalu saja diperdebatkan. Dengan seorang teman yang nyentrik dalam menuangkan ide dan gagasan yang konyol, menurutku tolol, tapi begitu dihormati di tempat aktifitasnya dan memang dianggap sangat brilian.

Wajar saja, karena kenikmatan tersendiri terjadi tatkala persilangan pendapat mulai memuncak dan saling beradu argumen, tentunya dengan saling menyertakan pendapat ahli untuk memperkuat, dan kekuatan argumen dengan nada yang meyakinkan.

Tapi aku tak tahu nama jelasnya, dan dia pun tak tahu namaku sejelas jelasnya. Kami bertemu hanya saling mengucapkan “hai”, menegur dengan mengatakan “kamu” “aku”. Tak pernah mau untuk bertanya siapa dia atau aku, dari mana asalku dan asalnya, kami rasa tidak perlu memang, meski sudah lama saling mengenal. Yang penting saling percaya dan merasa cocok.

***

Keraguan itu selalu hadir, terlebih lagi ketika hendak memilih, membuatku bingung. Buku mana yang sekiranya akan kupilih yang dapat mengungkapkan pencerahan dalam berpikirku, lama sekali, hingga satpam di toko buku ini memperhatikanku, dan berputar putar disekeliling, mungkin curiga. Tapi, peduli amat, yang penting aku harus mencari buku yang akan memberikan pencerahan. Demikian bosannya selalu membaca buku – buku yang bernadakan mengatasi pengangguran, karena sama saja yang dibahas di balai pelatihan kerja dan dibaca dibuku, nyaris sama. Terlebih lagi kalau yang mengajar hanya dengan membaca buku, apakah tak ada pemikiran lain yang bisa disajikan?

“Coba bacalah buku ini kawan” seorang pria yang sebaya denganku berkata dengan nada dan mimik bersahabat, namun membuatku terkagetkan.
“Buku apa itu, tentang apa?”
“Bacalah, dan renungkan maknanya dalam-dalam kawan. Oh iya, perkenalkan, namaku ….., ah tak usahlah, tak penting”
“Mungkin aku akan membeli dan membacanya”

Kemudian tanpa saling berpamitan langsung saja pergi tanpa meningglkan kesan apa apa, hanyut seperti angin yang bertiup dan tak berbekas, larut seperti kenangan – kenangan yang selintas dan terlupakan dengan mudahnya.

Hari berlalu dengan rutinitas keseharian yang membosankan.

***
Temanku itu datang lagi ke tempat ini, datang dengan membuat kaget. Seperti biasa dia membuat kopi dua, satu untukku dan satu untuknya, karena dia sudah sering dan menjadi kebiasaan apabila bertamu kesini. Setelah itu, pembicaraan pun dimulai dengan menuangkan gagasan – gagasan gila, tapi aku sedang tidak siap hari ini, maka kukatakan,

“Sudah – sudahlah kawan, kita bicara masalah lain saja”.

Dalam sekejap kuakhiri hasratnya untuk berdiskusi, tidak enak juga perasaan ini padanya, tapi karena kelelahan tersendiri. Bukan karena aku sengaja disebabkan bosan dengan ide – idenya.

Namun, rupanya dia agak keheranan, tidak biasanya, tak bisa lagi pembicaraan selain diskusi – diskusi gila. Dengan nafas agak berat diapun berkata “aku tak pernah mempunyai nama dan tak ingat kapan dilahirkan” dalam sekejap itu juga keadaan menjadi hening.



_________________
Beja Kabayan, Komunitas Rumasa, Maret 2004

No comments: