Wednesday, October 04, 2006

Menyisir Rambut

Kamu itu laki-laki yang malas menyisir rambut sendiri, tampak semerawut, tapi masih berbentuk dan sedikit rapi. Tak akan kubiarkan rambutmu seperti itu, kuraih sisir yang jarak antara duri-durinya renggang, agar tidak terlalu menyakiti rambutmu. Kusisir perlahan-lahan. Sambil kubelai rambutmu. Aku pun berambut panjang, lurus, tapi aku rajin menyisiri dan merawat rambut sendiri, ah kamu, malas sekali sih.

Ibukulah yang pertama kali mengajari merawat rambut, cara menyisir yang benar, berapa kali harus disisir agar rambut ini menjadi halus. Bagaimana mengeringkan rambut yang telah di shampo. Ah, ibumu mungkin tak mengajarkannya padamu. Mungkin, kamu tidak terlalu dekat dengan ibumu. Bisa jadi benar kata seorang ahli, bahwa anak perempuan dekat dengan bapaknya, dan anak laki-laki dekat dengan ibunya, hmm, mungkin juga.

Tapi itu berlaku dengan keluarga yang ada anak perempuan dan laki-laki, ada bapak dan ibu. Bagaimana kalau bapak dengan anak lakinya tanpa ibu atau ibu dengan anak perempuannya tanpa bapak. Ah, kupikir juga beberapa ahli itu belum menjawab tuntas segala permasalahan.

***

Semenjak kecil, aku lebih banyak bersama ibuku, bapak entah kemana. Mungkin pergi bersama perempuan lain, meninggalkan kita berdua, atau entahlah, aku tak dapat memikirkanya, yang aku tahu ibu hanya memberitahu, bahwa bapak telah pergi, itu saja. Mungkin juga kedekatan dengan ibuku sangat berpengaruh. Entah sejak kapan, aku mulai senang berada di dapur bersama ibu, menemani ibu menyisir rambutnya, sering juga ibu menyuruhku untuk menyisiri rambutnya, yang panjang hitam dan terawat, sangat wangi.

Aku mulai menyukai wangi-wangian yang dikenakan ibu, melihat ibu memakai baju-bajunya, aku ingin mengenakannya. Ah, mungkin sudah besar nanti pikirku kala itu, karena pasti kucoba, dan hanya kedodoran yang ada.

Saat itu aku masuk ke kamar ibu, kudekati lemari tempat pakaian, di sana baju-baju ibu tertata rapi. Aku melihatnya satu persatu, tiba-tiba aku tertarik dengan daster ibu yang berwarna merah, aku tarik dari lipatan-lipatan baju ibu yang menumpuk. Kubentangkan, kutatap, besar sekali. Badanku tertutup semua, kucoba memakainya.

Daster ini tampak besar sekali kukenakan, aku melihatnya di kaca, bercermin di depannya. Kutatapi tubuhku, lalu kuputar-putar. Kemudian ibu datang ke kamar dan memberikan senyuman, mungkin menertawakan aku yang mencoba mengenakan bajunya. Ibu hanya tersenyum, kemudian menggendongku, memelukku. Aku didudukkan di tempat tidur. Ibu meraih kosmetik yang biasa dikenakannya, kuasnya di lesakkan ke dalam isi kosmetik dan ibu mulai merias wajahku, aku hanya diam. Ibu mulai memberiku pemerah bibir, ketika ibu memperlihatkannya di kaca, aku tersenyum, duh gembira sekali aku waktu itu. Ibu mengatakanku cantik.
***

Selepas sekolah aku melanjutkan kuliah ke Fakultas Filsafat di sebuah perguruan tinggi negeri. Aku selalu terkenang, ibuku mengantar menuju kota itu. Dia selalu gelisah dan selalu menanyakan, Apakah ada yang tertinggal? Bagaimana kebutuhan-kebutuhanmu? Aku pun menjawabnya bahwa ibuku ini telah menyiapkan jauh-jauh hari sebelumnya, dan tak ada yang terlupakan, ibuku memang hebat. Tapi ini pertama kalinya aku jauh dengan ibuku, ada rasa khawatir.

Aku merasa beruntung sekali bisa lolos ujian masuk perguruan tinggi, aku merasa lega. Bagaimana tidak, saingannya banyak sekali, seluruh Indonesia. Kupikir ini adalah sebuah keberuntungan, pilihan pertamaku di Fakultas Psikologi, alasannya karena ingin mengenal diriku lebih jauh, lebih dalam lagi, bisa memetakan, menggambarkan, memberikan penyelesaian terhadap kondisi kejiwaan seseorang, ah, sepertinya berat. Pilihan kedua di Fakultas Filsafat, entah kenapa aku memilih ini, mungkin untuk menjadi seorang yang bijak, entahlah, aku juga tidak yakin apa yang membuatku tertarik pada Fakultas ini. Pilihan kedua inilah yang tembus, ya, aku akan kuliah di Fakultas Filsafat.

Aku menggunakan kereta api dari tempatku ke kota itu, jarak tempuhnya sekitar setangah hari, cukup jauh dan melelahkan. Aku memandangi arah kereta ini, sepertinya laju kereta ini berjalan mundur, ah, ini mungkin hanya perasaanku saja. Ibu hanya tidur saja dari tadi, kami duduk bersebelahan. Aku tidak pernah bepergian jauh, baru kali ini, apalagi naik kereta. Pemandangan-pemandangannya menarik, rel ini membelah gunung, pesawahan, rumah-rumah dan sedikit hutan-hutan. Itu stasiun, kubangunkan ibu untuk segera bersiap-siap, ibu terbangun dan melihat sekeliling kemudian mengatakan bahwa perjalanan masih jauh, lalu tidur lagi.

Lima menit sebelum sampai di stasiun, ibu bangun, menggeliat. Ditatapnya pemandangan-pemandangan dari kaca jendela kereta, ibu menyebutkan kereta sebentar lagi akan sampai di stasiun tujuan kita. Benar, beberapa saat kemudian kami tiba. Ibu sepertinya sangat mengenal kota ini. Dia berjalan keluar dari stasiun dan segera tahu akan pergi kemana, aku bertanya, ibu hanya menyuruhku untuk mengikutinya.

Ternyata ibu mempunyai rumah di kota ini, tempatnya pun tidak terlalu jauh dari kampus, hanya satu kali naik bis kota. Rumah ini hasil kerja keras bapak sewaktu masih bersama ibu, rumah ini menjadi tempat berlibur, begitulah ibu meriwayatkan rumah ini. Ah bapak, mahluk seperti apa dia! Pergi begitu saja meninggalkan kita. Ibu hanya tersenyum.

Ibu hanya sebentar disini, karena besok harus bekerja. Sebelum kembali, ibu memberikan nasihat-nasihat, catatan-catatan yang harus dilakukan, dan jangan lupa bahwa disuruhnya sering menelpon ke rumah. Besok, aku akan memasuki dunia perkuliahan, entah bagaimana rasanya. Senang bercampur gelisah, besok apa yang akan terjadi?

***

Aku pergi ke kampus, naik bis kota. Berjalan menuju Fakultas, disana dijajarkan mahasiswa-mahasiswa baru. Tahu apa yang kukenakan? Baju hitam putih dengan kaus kaki yang berbeda warnanya, aduh sungguh menggelikan, mau kuliah kok disuruh beginian.

Ya, aku selalu ingat, agak sedikit terkesan ketika pertama kali masuk kuliah. Aku saat ini genap kuliah empat tahun. Tak terasa waktu cepat sekali berlalu. Beragam aktifitas kegiatan di kampus, kucoba ikuti. Baik itu di dalam kampus maupun di luar kampus. Bersama teman-teman yang peduli dengan permasalahan transeksual mengadakan diskusi dan kegiatan-kegiatan lainnya, rumahku pun menjadi pusat kegiatan.

Semakin banyak saja orang-orang yang datang dan kegiatan semakin padat. Sebetulnya aku membangun kegiatan ini dengan seorang teman, awalnya hanya kami berdua. Seringnya bersama dalam kegiatan-kegiatan timbul rasa saling mengagumi. Cinta itu datang, ah entah apa namanya, aku selalu ragu, apakah betul seperti ini, aku ragu dengan hubungan seperti ini. Tapi hari demi hari terus berjalan, seiring berlalunya waktu, aku semakin yakin dengan hubungan ini.

Ketika kita berdua, aku senang menyisiri rambutmu dengan tanganku, begitu lembutnya rambutmu, kita pun tersenyum dan aku menggelayut manja di pangkuanmu. Bergantian, kau membelai rambutku. Kita pun saling berbagi pengalaman, apa yang dirasakan, yang disukai dan tidak disukai, sehingga saling memahami satu sama lain.

Kala sendiri aku selalu ingat keadaanku, keadaanku akan seperti ini saja, aku tidak akan mengoperasi setiap tubuhku menjadi yang bukan semestinya. Kupikir inilah keadilan bagi tubuhku, dan tubuhku adalah milikku. Biarlah jiwaku seperti ini adanya, dan kau bisakah menerimaku apa adanya? Oh iya, kita jangan bicara tentang agama, karena aku akan selalu salah, salah dan salah. Hubungan kita pun tidak akan dibenarkan.

***

Suatu ketika aku melihatmu bersama seorang perempuan, cantik sekali. Di suatu sore di sebuah café. Kau begitu akrabnya, berbincang-bincang, di sela-sela itu kalian tertawa sesekali pertanda sangat menikmati pembicaraan. Kau menyuapi makananmu ke perempuan itu, dan dia tersipu malu. Setelah itu dia mendekap kearah tubuhmu dengan manja, kau pun membelai rambutnya, menyisiri rambutnya dengan tanganmu.

Aku menatap peristiwa itu dengan hati yang berdebar, berdegup kencang, kuharap itu bukan kau, kuharap ini bukan kejadian yang sebenarnya. Ah tapi ini memang benar-benar terjadi. Hatiku seperti disambar petir hari ini, sakit, sakit sekali. Aku kemudian pergi meninggalkan tempat itu, tanpa diketahui olehmu. Aku kembali ke rumah, merenungi, mereka kembali peristiwa tadi.

Dan di malam itu, setelah beberapa saat aku menyelesaikan mandi. Kau datang, aku melihatmu, menatapmu, segera saja pertanyaan itu datang, meminta penjelasanmu, penjelasan yang sejelas-jelasnya, tentang hubungan, tentang komitmen. Tapi kau mulai mengataiku, mengumpatiku, terlebih kata-kata itu, bahwa kau ini bukan lelaki bukan pula perempuan. Aku menangis, tersedu, hatiku memendam nyeri yang kau torehkan, kau pun pergi membanting pintu dan pintu itu terbuka dengan lebar, di luar gelap. Tapi tak apa, kau mungkin mulai menganggapku tak ada. Tapi aku tetap menyayangimu, dalam getir ini.


Bandar Lampung, 2006

No comments: