Sunday, October 01, 2006

Merenda Perjalanan

Terbaring, tak terjaga, menatap dengan tatapan, tatapan, tatapan.
Gamang dengung rindu sahaja kelabu menjalin renda dimana dan mana.
Meliuk liuk menarik asa di keremangan. Malam, siang, pergantian
waktu.

Pergantian waktu?
Kemanakah gerangan pikiran?

Pergantian waktu selalu saja terlupakan, kategori dan nalar tak
pernah menyoalkan pergantian waktu, antara siang dan malam, antara
siang dan pagi, antara gelap dan terang, sebuah ruang yang remang dan
redup, menuju sebuah cahaya atau menuju kegelapan. Sebuah ruang
antara dan tak terjangkau ataukah memang kita berada diantara itu.

Antara kamu antara aku antara kita, sebuah ruang yang memisahkan
jarak. Jarak yang jauh dan dekat, sebuah jarak antara, dekat atau
jauh, antara, antara. Antara laki laki dan perempuan, adakah antara
laki laki perempuan. Laki laki berjiwa perempuan terjebak di ruang
antara. Perempuan berjiwa laki laki terjebak diantara ruang antara.
Antara laki laki dan perempuan, terjebak di dalam antara.

Anak anak menuju dewasa, dewasa menuju kekanak kanakan, dimana ruang
antara anak anak dan kedewasaan, anak anak dalam kepolosan namun
terkontaminasi oleh otoritarian parental sehingga pemberontakan nalar
bawah sadar menuju kedewasaan, sementara dewasa berdegradasi menuju
impian kanak kanak dikarenakan kepenatan dan kejemuan oleh keseharian
yang telah memenjara dan terkungkung oleh waktu dan ruang.

Dibesarkan dengan keadaan, dan berlanjut dengan keinginan keinginan
menjadi orang lain, disuruh menjadi orang lain atau merupakan hibrida
dari tekanan untuk menjadi yang orang tua inginkan.

Aku pernah bertemu dengan sebuah jiwa yang tak pernah merana, padahal
aku sangat rapuh dan tidak percaya akan adanya ada. Tak terduga
putaran mengenai kesembaban diacungkan ke sekitar kesempitan yang
pernah ditanam namun selalu saja semua ragu, ragu di dalam adanya
ada. Tawa tak sempat terselip di dalam setiap bibir yang indah itu,
selalu dan memang tapi tidak pernah terjadi. Semua kebingungan tapi
tidak pada kegalauan mendera.

Mendaki terjal sebuah dunia yang tak bersahabat, dimana tak pernah
rindu akan kebersamaan yang selaras. Tinggi dan semakin sesak dalam
hirupan tiap hisap pertama, kedua, dan tersungkur pada detik detik
hisapan ketiga. Mata yang jalang dan menerawang terselip nakal binal
mendera, hanya ada tatapan yang tak kuasa menahan beratnya kedipan.
Selalu saja ada terselip tanya dan tawa ketika pertanyaan itu datang,
hingga akhirnya aku harus berjalan, berjalan sendiri. Berjalan
menyusuri susuran susuran.

Aku berjalan dengan, dengan diri sendiri menikmati tiap ayunan
langkah yang terayun sedikit demi sedikit, terayun kaki kiri,
kemudian diayunkan kaki kanan hingga membuat berjalan perlahan.
Perlahan namun berjalan, jalan, dan jalan, sungguh menikmati sehingga
orang yang berlalu dari kiri dan kanan, depan belakang tak pernah
kuperhatikan. Peduli amat, aku menikmati tiap ayunan langkahku.

Mentari terik, awan biru sebiru laut, pantulan dari angkasa. Aku
berjalan mengikuti jalan, belok ke kiri dan belok ke kanan, kemudian
lurus, belok ke kanan dan belok ke kiri kemudian berjalan di arah
kiri, berjalan lurus dan lurus. Terdengar swing, swing, swing, swing,
swing, mobil, motor menderu deru dan berjalan, asapnya mengeluarkan
gas yang membuat batuk, ugh, tapi peduli amat.

Padahal juga disekeliling terdapat bangunan besar besar mengeluarkan
asap terbal, tebal sekali pekat dan hitam, orang yang menghirupnya
pasti akan pingsan, mati keracunan. Sementara air air yang
dikeluarkan dari bangunan besar itu berwarna hitam dan baunya sangat
menusuk tajam, gimana orang yang mandi disana, pasti kulitnya bisa
berubah, mengerikan sekali.

Hei, mobil mobil berlalu lalang, tapi kenapa mobil itu diam disana.
Tapi bodo amat, kali ini ada sedikit perhatian, kenapa mobil mematung
disitu, tapi ada sedikit goyangan, goyangan. Kuhampiri dekat dan
mendekat, terdengar desahan. Suara apa? Manusia, mendekat dan lebih
dekat lagi, ah, pria dan wanita sedang tumpang tindih, kobel dan
dikobel, memasukkan dan dimasukkan, tarik menarik, tancap ditancap
dan menancap, dalam sebuah gerakan yang teratur, desah dan mendesah
terdengar suaranya, gila, panas terik begini, dasar, si wanita
melirik ke arahku, kemudian mengedipkan matanya padaku dengan
manjanya, gila, dasar gila, dengan segera kutinggalkan mobil yang
mematung di tepi jalan ini.

Aku semakin tak peduli dalam pandangan untuk melihat apa apa yang
mematung dan berlalu lalang di sepanjang jalanan ini. Tapi terlihat
anak anak kecil umur enam tahunan, bergerombol dan menghampiri mobil
yang berparkir tadi, mereka menonton dan keasyikan, waduh, anak anak
sudah menonton pertunjukan seks, langsung lagi, ah, bodo amat.

Warung kopi, aku ingin, minum disana, sepertinya enak sekali. Aku
mencoba untuk mampir. Memesan kopi, masih panas, kutunggu hingga
dalam hirupan tidak membuat kelu lidah. Disana sini terdengar orang
orang yang menyeruput kopi berdesas desus, tentang artis selingkuh
kemudian yang bugil dan mesum, aih kayak nggak ada kerjaan lain aja,
kemudian disebelah juga ada percakapan, sepertinya lebih berbobot,
biasa tentang politik, dasyat, ngalor ngidul, namun dengan pemaparan
bahasa langit yang terdengar dan terkesan ilmiah, padahal kalau
diartikan ucapan yang biasa kita ucapkan, aih ada ada saja, sebuah
prestise kali, dengan jelas terdengar pria botak itu berkata kata
hingga aku bosan mendengarnya, lebih baik kuhabiskan minuman kopi ini
dan hengkang dari sini.

Tiba tiba saja ketika kutinggalkan warung itu, penjual koran
menawarkan koran dengan diasong asongkannya padaku, ada rasa tertarik
juga untuk membelinya dan kasihan juga penjual koran itu anak kecil.
Huh, kecil kecil sudah bekerja dan menghidupi diri sendiri, iba
sekali, apakah tidak ada yang peduli untuk memberikan fasilitas
pendidikan pada anak anak, dan diakhiri hanya dijalanan, dan
penjualan koran sebagai penopang hidup. Aku membeli satu, dengan
harga sekitar dua ribu lima ratus rupiah, sambil berjalan kubaca
baca, tapi paling menarik pada rubrik tentang analisa seksualitas,
segera saja kubaca, buat pengalaman.

Hingga setelah habis kubaca, hanya ada satu kata, Gila! Tulisan apa
itu? Nggak ngerti ah, bahasanya ketinggian atau sengaja dianeh
anehkan, membacanya saja membuat orang awam seperti ini nggak ngerti,
gak jelas, kemudian koran kulipat dan kukempit di ketiak, dan aku
melanjutkan perjalanan, berjalan dan berjalan.

Perjalanan masih jauh, letih sekali, tapi kenapa orang itu
membuntutiku terus menerus, pakaiannya compang camping, tatapannya,
tatapannya menegrikan dengan dua bola mata berwarna merah, mendelik
dan menatap terus kearahku. Tiba tiba saja berlari kearahku,
menerjang, hingga aku dan dia roboh, berguling guling. Lalu dia
berdiri dengan tegap menghentakkan kakinya, kemudian melangkahkan
satu kakinya tangannya, tangannya menunjuk kearahku, kemudian mulai
berkata kata, ya, berkata kepadaku.

Kemudian orang itu pergi begitu saja, meninggalkanku, kenal aja
nggak. Akhirnya aku mencoba berdiri, lecet dan perih rasanya, dasar
orang aneh.

Aku berjalan dan berjalan, tiba di sebuah persimpangan, persimpangan?
Bukankah jalan mana yang akan kutempuh, sebuah persimpangan yang ada
empat jalannya. Terlalu banyak jalan, membingungkan. Mengherankan
kenapa harus ada banyak jalan, padahal arah tujuannya ke situ situ
juga, aku harus jalan kemana. Kalau aku berpikir terus aku tak akan
jalan jalan lagi, kemanakah harus melangkah. Sementara apakah harus
mematung disini karena bingung memilih jalan. Ah, biar saja, aku diam
di persimpangan jalan ini, tidak jalan lurus, tidak jalan kiri, tidak
jalan kanan, tidak pula jalan di tengah, bodo amat.






_________________________
SASTRA-PEMBEBASAN, wacana sukasamasuka sastrakitakita
Tue, 07 Mar 2006

No comments: