Sunday, October 01, 2006

Penyanyi Kebebasan

Lakukanlah lagi, serangkaian nyayian yang biasa kau nyanyikan di atas
bukit hingga suara suaramu menggema ke seluruh lembah ini. Aku tahu,
kau memang berbakat, maka bernyayilah lagi tak usah ragu. Ketika kau
bernyayi sembunyi sembunyi karena tak ingin ayahmu tahu, aku yang
pertama tahu dan mendukungmu. Ayahmu memang tak ingin kamu maju,
patut disayangkan memang. Juga ketika ibumu hanya diam berpangku
tangan ketika kau menyanyi, tak peduli, biarkanlah, anggap saja angin
yang menerpa dan beralu begitu saja. Maka tak usah kau pedulikan
semua itu, tetaplah menyanyi.

Gejolak dan kontradiksi itu simpanlah di dadamu, tapi biarkan dirimu
menyanyi seperti kicau camar, dan burung burung di pagi hari yang
senantiasa membangunkan kita tatkala kita telah lama memejam. Ketika
terdengar oleh tetanggamu jangan kau hiraukan mereka, mereka hanya
iri akan bakatmu ketika menyanyi, sungguh, suaramu merdu kok.

Janganlah kau bungkam dan hanya menyayi dalam hatimu, terasa sesak
dan terpendam dalam dalam di relung hatimu. Kamu jangan seperti itu.
Aku tahu kau mampu, lepaskan lagi suaramu itu hingga penjuru lembah
ini mendengarnya kembali, tak usah takut.

Aku tahu, memang pada hari kamis malam kau bernyanyi semalaman,
rembulan yang terang menjadi temanmu diatas bukit. Memang pada kamis
malam adalah hari yang tepat, dimana pasar pasar buka dan menjajakan
dagangannya untuk mereka, segala aktivitas dilakukan di lembah ini,
mereka bertransaksi, keasyikan dalam keseharian untuk menghidupi
kehidupan mereka.

Juga pada hari itu, para petinggi tengah berpesta pora dan mereka
meninggalkan kewajibannya untuk meminpin lembah ini. Mereka tak perlu
beristirahat, hanya untuk berpesta pora pada kamis malam. Masih pada
hari itu juga cawan cawan anggur dituangkan di sudut kota di lembah
ini, mereka bersenang senang dimana tak teringatkan akan waktu waktu
yang telah dilaluinya pada hari hari sebelumnya.

Kamis malam memang kuanggap istimewa bagimu, tapi di hari hari lain
kau tetap bernyanyi, apakah kamis malam kau memang
mengistimewakannya? kemudian kau berlari mendaki curam dan terjalnya
bukit. Tidak setiap hari, kamis malam itu kau lakukan pendakian untuk
menggemakan suaramu.

Aku tak mengerti mengapa kamis malam, padahal kau bernyanyi dan
melantun setiap hari, saat semua bertanya kepadamu mengapa kamis
malam, kau hanya tersenyum simpul tak memaknakan apa apa. Atau
mungkin itu hanya sebuah kebiasaan yang dibiasakan dan aku
menganggapnya sebuah hari yang istimewa, tentunya kau pun bisa
menggantinya di hari lain, semua memang terjabak dalam rutinitas dan
keseharian, kini aku tahu dan mengerti maksudmu itu.

Nyayianmu itu tidak seperti yang biasa oleh orang orang dinyayikan
dan dijual ditoko toko itu dengan harga mahal, kemudian diputar di
media media dan diberitakan. Juga diadakan penghargaan yang hanya
secuil nilainya itu. Nyayianmu adalah nyayian yang membebaskan kita
semua dari nyayian nyanyian picisan itu.

Masih ingatkah kau sebuah peristiwa ketika kita bersama bernyanyi
bersama para pemuda untuk meggulinggkan penguasa yang telah lama
berkuasa dan menyengsarakan kita semua, kau bernyanyi paling lantang
dan suara suara keberanianmu didengar oleh siapapun. Semua memasang
telinga pada suara naynyianmu, yang kau nyanyikan pada waktui itu
adalah suara keberanan dari hati nuranimu, juga hati nurani kita
semua yang telah penat akan gegap gempitanya kepalsuan yang
dipelihara.

Kemudian setelah itu kau menghilang dan kabar yang tersiar kau telah
diculik, tak ada kabar dalam beberapa hari. Kemudian semua orang
bertanya gerangan mengetuk ngetuk kembali pintu kekuasaan, kemudian
berkat usaha kita bersama kau diloloskan dari penculikan itu. Aku
sangat terharu ternyata kau dapat diselamatkan, tapi kau…..,
keadaanmu sangat mengenaskan, rupamu sudah tak karuan. Mungkin orang
yang terdekatpun tak akan mengenalimu lagi, tapi aku masih
mengenalimu. Meskipun kau dalam wujud tak karuan ini, aku masih
mengenalimu.

Namun tak ada lagi lantunan nyayian yang mengalun melewati rongga
rongga dan tersalur keluar dari mulutmu. Apa yang telah terjadi
kawan? kau tidak mau menyanyi lagi, sementara perubahan terus
berlangsung dan para pemuda kembali lagi pada kegiatan keseharian
mereka. Lagi lagi orang oranmg yang mengikuti arus kembali lagi
menduduki jabatan, mereka mengakui bahwa mereka juga telah melakukan
perubahan.

Tapi aku tak peduli, yang terpenting bagiku adalah kau kawan. Mengapa
kau tidak mau menyanyi lagi? Ketakutan yang kau kuatirkan itu akibat
dari penculikan dan penyekapan apakah masih menghantui jiwa dan
ragamu? Apa yang harus aku lakukan? Mungkin itu kenginginanmu apabila
telah terjadi perubahan.

Aku mulai tak peduli lagi ketika kau benar benar telah berhenti
bernyanyi. Tapi kemudian orang orang mulai mengikuti caramu, gayamu,
tapi kau tetap tak mempedulikan mereka. Sempat kau mengutarakan dalam
keheningan malam dimana semua tertidur dalam kelelapan "aku sudah
letih dan lelah"

Rebahlah dan istirahat, tapi kau jangan berhenti bernyanyi, tolong,
kau memang berbakat dalam menyanyi. Dan setelah kau menenangkan
pertentangan dalam jiwamu, naiklah keatas bukit dan suarakan
nyanyianmu kembali ke penjuru lembah ini. Dan pada saat itu, saat
yang dinanti nanti oleh aku dan semua orang, kau memang bernyanyi
suaramu melantun di lembah lembah, suaramu, ya aku ingat itu suaramu
menyanyikan suara kebenaran dan keberanian.

Namun ketika aku dan semuanya menghampirimu di atas bukit itu malam
mulai menampakkan kegelapannya, dan kaupun tak ada di bukit ini.
"Kemanakah dirimu wahai penyanyi kebebasan ?"

Bandar Lampung, 2004






_________________________
SASTRA-PEMBEBASAN, wacana sukasamasuka sastrakitakita
Tue, 07 Mar 2006

No comments: